Tidak terlalu lama dari hari ini ada seorang teman di kantor yang
pengen membuat sebuah website yang berisi cerita petualangan dia selama
mengembara kemana mana. Ya mungkin dia terinspirasi oleh blog ini
wakakakaka...tapi beda, dia ga mau yang gratisan. Sudah lah tentang dia,
karena sedikit memberi informasi ke dia mengenai membikin website maka
secara otomatis membaca artikelnya yang memang banyak berisi tentang
petualangan dia di alam bebas. Membaca tulisan dia di
www.pangeranadventure.com jadi teringat sebuah perjalanan bersama
dulur-dulur ins@n ke yogyakarta pasca erupsi merapi.
Sebenanarnya
ke jogja juga tanpa rencana kemana saja nanti kami menuju, namun
ternyata di benak yang masing-masingikut tadi ada beberapa keinginan
yang sama yaitu ke tegalrejo dan yang kedua adalah bersilaturrahmi
kepada mbah maridjan (alm) di daerah dekat kaki merapi. Oke jadilah kami
mengunjungi mbah maridjan, sayangnya ketika sampe di kediaman si mbah,
ternyata beliau baru saja berangkat ke Jakarta untuk menghadiri
undangan salah satu minuman suplemen yang beliau bintangi. Ya sudahlah,
akhirnya kami ke merapi, bukan naik tapi melihat saja dari sekitaran
bekas longsoran merapi.
Duduk, berdiri, duduk
lagi berdiri lagi dan termenung yang bisa kulakukan waktu itu,
bagaimana tidak tercengan melihat gunung segitu gedenya seraya
membayangkan betapa mengerikannya ketika dia meletupkan isi di dalamnya,
kedahsyatan dan kengerian itu masih bisa terasa dan terlihat dari bekas
erupsi dan longsorannya, batu-batu segedhe gaban juga berserakan di
mana-mana tidak heran jika ada salah satu warga bercerita ketika erupsi
terjadi suara gemuruh ada dimana-mana boleh jadi itu ada suara batu
gaban tadi sedang meluncur, abu abu vulkanik masih memutihkan
lahan-lahan disekitaarnya, sambil memikirkan hal itu jadi teringat salah
satu kisah dalam alQuran bahwa nanti kiamat yang namanya gunung ini
akan berterbangan ngeri kan? kalau gunung sebesar merapi ini terbang
kira-kira mau lari kemana?
Setelah berpindah
tempat, tibalah, menurutku, salah satu lokasi melihat gunung merapi,
alchamdulillahnya pas waktu itu tidak ada awan yang menghalagi bentuk
merapi semuanya utuh, terlihat sangat jelas. Indah, gagah, kalem,
wibawa, serta tidak bisa dianggap remeh, itulah kesan pertama yang
kutangkap ketika melihat salah satu ciptaan Gusti Allah Yang Maha Besar,
subchanallah..memang kita harus sering melihat ke alam untuk menggungah
kembali keimanan kita yang terkadang mulai tertidur diantara kesibukan
kita memuja gedung-gedung pencakar langit serta aktifitas di dalamnya.
Allahu
Akbar, melihat gunung ini dengan berdiri di atas batu yang guedhe tidak
sedikitpun mengurangi kegagahan merapi, malah semakin kesini semakin
terasa kecil aku ini, sangat dan sangat kecil mendadak menciut ukuran
tubuh ini menjadi seekor mikroba yang tidak ada apa-apanya. Melihat
ciptaannya saja sudah begitu kecil aku ini bagaimana jika berhadapan
dengan pencipta Gunung Merapi ini, oohhhh Allah begitu kerdilnya hambaMu
ini. Dengan segala harta yang dipunya, segala kecerdasan otak segala
kesehatan dan kebugaran waktu itu tidaklah ada apa-apanya diriku ini
dihadapannya hanyalah seokor mikroba yang hanya mencoba terus beribadah
kepada pencipyanNya. Melihat gunung Merapi yang begitu indah dan besar
makin malu lah aku, dengan fisik dan otak yang kecil ini sudah pernah
merasa berkuasa atas beberapa orang, sudah merasa penting, sudah merasa
perlu dihormati, perlu dilayani dengan maksimal dan tidak jarang merasa
lebih baik dari yang lainnya. Mahluk kerdil ini tidaklah ada apa-apanya
dibandingkan dengan kebesaran Gusti Allah yang salah satunya ditunjukkan
oleh Gunung Merapi ini. Dengan begitu masihkah kita berani menganggap
lebih unggul diri ini di hadapan yang lainnya? segala kekerdilan yang
ada di diri kita masihkah menghalangi kita untuk mengucapkan kalimat
Allahu Akbar? sebuah kalimat yang mempunyai konsekuensi mengakui semua
kekurangan kita dihadapan Dia Yang Maha Besar, sebuah kalimat yang
membuat kita harus meletakkan dahi kita di tempat paling rendah yaitu
tanah untuk selalu bersujud kepadaNya, bersujud dalam artian menyerahkan
hidup ini hanya untuk beribadah kepadanya. Satu tahun, satu bulan, satu
hari, satu jam, kita lalai tidak beribadah kepadanya tidak berdzikir
atasnya maka sepertinya kita tidak benar-banar mengucapkan Allahu Akbar.
Begitu juga ketika merasa lebih dari yang lainnya, merasa berkuasa atas
yang lainnya maka di saat itulah kita telah melalikan esensi dari
kalimat Allahu Akbar.
Semoga Gusti Allah
memberi kesempatan lagi kepada mataku ini untuk melihat kebesaran
ciptaanNya yang lain, tidak hanya mata harapanku, tapi mata hati ini,
semua oragan semua indera semoga saja bisa menemukan dan merasakan
kebesaran-kebesaranNya baik yang berbentuk besar, sedang, micro, nano,
ataupun yang tidak berwujud. Semoga dengah hidayah dan petunjukNya kita
dijadikan hamba yang "ndingkluk" tawadhu.
Wahai Gunung Merapi, insyaallah kapan-kapan aku akan bersilaturrahmi lagi ke panjenengan nggih...
Wallahu a'lam bisshowab
21 September, JS Luwansa, Djakarta
cak S