Jumat, 30 September 2016

Merapi, antara Kebesaran dan Kekerdilan


Tidak terlalu lama dari hari ini ada seorang teman di kantor yang pengen membuat sebuah website yang berisi cerita petualangan dia selama mengembara kemana mana. Ya mungkin dia terinspirasi oleh blog ini wakakakaka...tapi beda, dia ga mau yang gratisan. Sudah lah tentang dia, karena sedikit memberi informasi ke dia mengenai membikin website maka secara otomatis membaca artikelnya yang memang banyak berisi tentang petualangan dia di alam bebas. Membaca tulisan dia di www.pangeranadventure.com jadi teringat sebuah perjalanan bersama dulur-dulur ins@n ke yogyakarta pasca erupsi merapi.
Sebenanarnya ke jogja juga tanpa rencana kemana saja nanti kami menuju, namun ternyata di benak yang masing-masingikut tadi ada beberapa keinginan yang sama yaitu ke tegalrejo dan yang kedua adalah bersilaturrahmi kepada mbah maridjan (alm) di daerah dekat kaki merapi. Oke jadilah kami mengunjungi mbah maridjan, sayangnya  ketika sampe di kediaman si mbah, ternyata beliau baru saja berangkat ke Jakarta untuk menghadiri undangan salah satu minuman suplemen yang beliau bintangi. Ya sudahlah, akhirnya kami ke merapi, bukan naik tapi melihat saja dari sekitaran bekas longsoran merapi.
Duduk, berdiri, duduk lagi berdiri lagi dan termenung yang bisa kulakukan waktu itu, bagaimana tidak tercengan melihat gunung segitu gedenya seraya membayangkan betapa mengerikannya ketika dia meletupkan isi di dalamnya, kedahsyatan dan kengerian itu masih bisa terasa dan terlihat dari bekas erupsi dan longsorannya, batu-batu segedhe gaban juga berserakan di mana-mana tidak heran jika ada salah satu warga bercerita ketika erupsi terjadi suara gemuruh ada dimana-mana boleh jadi itu ada suara batu gaban tadi sedang meluncur, abu abu vulkanik masih memutihkan lahan-lahan disekitaarnya, sambil memikirkan hal itu jadi teringat salah satu kisah dalam alQuran bahwa nanti kiamat yang namanya gunung ini akan berterbangan ngeri kan? kalau gunung sebesar merapi ini terbang kira-kira mau lari kemana?

Setelah berpindah tempat, tibalah, menurutku, salah satu lokasi melihat gunung merapi, alchamdulillahnya pas waktu itu tidak ada awan yang menghalagi bentuk merapi semuanya utuh, terlihat sangat jelas. Indah, gagah, kalem, wibawa, serta tidak bisa dianggap remeh, itulah kesan pertama yang kutangkap ketika melihat salah satu ciptaan Gusti Allah Yang Maha Besar, subchanallah..memang kita harus sering melihat ke alam untuk menggungah kembali keimanan kita yang terkadang mulai tertidur diantara kesibukan kita memuja gedung-gedung pencakar langit serta aktifitas di dalamnya.
Allahu Akbar, melihat gunung ini dengan berdiri di atas batu yang guedhe tidak sedikitpun mengurangi kegagahan merapi, malah semakin kesini semakin terasa kecil aku ini, sangat dan sangat kecil mendadak menciut ukuran tubuh ini menjadi seekor mikroba yang tidak ada apa-apanya. Melihat ciptaannya saja sudah begitu kecil aku ini bagaimana jika berhadapan dengan pencipta Gunung Merapi ini, oohhhh Allah begitu kerdilnya hambaMu ini. Dengan segala harta yang dipunya, segala kecerdasan otak segala kesehatan dan kebugaran waktu itu tidaklah ada apa-apanya diriku ini dihadapannya hanyalah seokor mikroba yang hanya mencoba terus beribadah kepada pencipyanNya. Melihat gunung Merapi yang begitu indah dan besar makin malu lah aku, dengan fisik dan otak yang kecil ini sudah pernah merasa berkuasa atas beberapa orang, sudah merasa penting, sudah merasa perlu dihormati, perlu dilayani dengan maksimal dan tidak jarang merasa lebih baik dari yang lainnya. Mahluk kerdil ini tidaklah ada apa-apanya dibandingkan dengan kebesaran Gusti Allah yang salah satunya ditunjukkan oleh Gunung Merapi ini. Dengan begitu masihkah kita berani menganggap lebih unggul diri ini di hadapan yang lainnya? segala kekerdilan yang ada di diri kita masihkah menghalangi kita untuk mengucapkan kalimat Allahu Akbar? sebuah kalimat yang mempunyai konsekuensi mengakui semua kekurangan kita dihadapan Dia Yang Maha Besar, sebuah kalimat yang membuat kita harus meletakkan dahi kita di tempat paling rendah yaitu tanah untuk selalu bersujud kepadaNya, bersujud dalam artian menyerahkan hidup ini hanya untuk beribadah kepadanya. Satu tahun, satu bulan, satu hari, satu jam, kita lalai tidak beribadah kepadanya tidak berdzikir atasnya maka sepertinya kita tidak benar-banar mengucapkan Allahu Akbar. Begitu juga ketika merasa lebih dari yang lainnya, merasa berkuasa atas yang lainnya maka di saat itulah kita telah melalikan esensi dari kalimat Allahu Akbar.
Semoga Gusti Allah memberi kesempatan lagi kepada mataku ini untuk melihat kebesaran ciptaanNya yang lain, tidak hanya mata harapanku, tapi mata hati ini, semua oragan semua indera semoga saja bisa menemukan dan merasakan kebesaran-kebesaranNya baik yang berbentuk besar, sedang, micro, nano, ataupun yang tidak berwujud. Semoga dengah hidayah dan petunjukNya kita dijadikan hamba yang "ndingkluk" tawadhu.
Wahai Gunung Merapi, insyaallah kapan-kapan aku akan bersilaturrahmi lagi ke panjenengan nggih...

Wallahu a'lam bisshowab
21 September, JS Luwansa, Djakarta

cak S

cerita selengkapnya

Selasa, 20 September 2016

Idul Adha, Momentum Kepatuhan

Bakar sate, bikin krengsengan, gule, dan asem asem bisa jadi sudah menjadi kegiatan rutin setiap idul qurban. Iya, di seluruh pelosok bumi, umat islam pada tanggal 10-13 dzulhijah melaksanakan ibadah qurban. Berbagai ukuran hewan qurban siap di qurbankan sebagai salah satu bentuk ketaatan kepada Gusti Allah.
Ibadah Qurban ini, tidak bisa dilepaskan dari kisah tentang Nabi Allah Ibrahim As beserta puteranya Nabi Ismail As juga sayidatina Hajar, istri nabi Ibrahim. Dalam kisah tersebut, nabi Ibrahim dikisahkan mendapatkan perintah untuk menyembelih putera tercintanya, Ismail As. Di sini Gusti Allah telah memberikan contoh kepada manusia, kita semua ini bagaimana seharusnya menjadi hamba yang patuh. Mari kita perhatikan, tidak ada sedikitpun keraguan di dalam hati nabi Ibrahim beserta keluarga dalam menjalankan apa yang sudah diamanatkan oleh Allah kepadanya. Sangat patuh, tanpa ada keraguan, tanpa bertanya. Kalau kita baca di AlQuran, begitu yakinnya mereka pada perintah Allah meskipun perintah itu datangnya lewat mimpi. Dan dengan keyakinan yang tinggi itulah mereka berhasil melawan ajakan iblis untuk berpaling dari perintahNya. 
Kepasrahan nabi Ismail dan Nabi Ibrahim dalam hal ini merupakan sebuah bentuk nyata dari sebuah kesabaran. Kisah ini diabadikan di alQuran seperti di Surat Ash shaaffaat 99-111. Dengan penuh keimanan memenuhi perintah dari Rabbnya.
Kesabaran Nabi Ibrahim ditunjukkan dengan rela mengorbankan anak yang sudah dinantikannya selama bertahun tahun, sebuah anugerah dan kebanggaan nabi Ibrahim ketika mendapatkan seorang putera. Di tengah kebahagian tersebut, harta yang paling berharga miliknya diminta oleh Gusti Allah. Putera beliau yang tercinta diminta Sang Khaliq. Apa yang beliau lakukan ketika dapat perintah ini? Tentu karena tingkat kesabaran dan kehambaan beliau sudah di level teratas, perintah ini dilakukan dengan penuh kepatuhan tanpa tanya dan ragu. Terus apa yang kita lakukan ketika mendapatkan perintah berkorban? Sudah gak usah berkorban dengan menyembelih anak, berapa banyak nikmat yang telah kita terima. Suatu saat ketika nikmat tersebut diminta lagi oleh Sang Pemberinya, kira-kira apa yang akan kita lakukan? Ketika kita diberi nikmat berupa harta, kemudian ada perintah untuk membersihkannya, apa yang kita lakukan? Berapa banyak harta yang kita korbankan untuk memenuhi perintahNya, berapa banyak untuk shodaqah, berapa untuk zakat, berapa untuk infaq, atau berapa yang sudah kita korbankan untuk memenuhi hasrat nafsu kita ? Mari kita hitung besar mana untuk memenuhi perintah atau untuk pemenuhan nafsu?
Nabi Ibrahim dalam berkorban tidak tanggung-tanggung, anaknya sendiri. Terkadang malu dengan kenyataan bahwa sering kali yang kita korbankan adalah yang sudah tidak kita senangi, ambil contoh semisal ketika ingin menyumbangkan pakaian ke korban bencana, maka yang kita kasihkan adalah yang sudah tidak kita gunakan atau senangi, contoh lain, dlam mengisi kontak infaq, yang sering kita(uppss saya ding) lakukan adalah lebih sering mengorbankan yang warna abu-abu daripada warna merah yang lebih kita cintai. banyak contoh lain yang mungkin bisa menggambarkan cara kita berkorban, yang selalu kita korbankan adalah sesuatu yang kurang baik. Ayo kita tanyakan pada diri kita sendir, dalam memilih hewan qurban kemarin, apa yang ada di benak kita, asal qurban, asal pilih, cari yang murah saja, atau malah cari yang paling bagus tapi mahal? Kan tidak ada syarat mahal, iya, tapi kan kalau menauladani Nabi Ibrahim, harus yang paling bagus paling dicintai toh. Apa sekarang yang paling kita cintai dan sayang? kalau aku dalam hal materi ya uanglah sekarang yang paling dicintai. Nah, mau ga sekarang kita mengorbankan uang kita untuk membeli hewan qurban yang berkualitas. Jadi inget pesen allahummaghfirlahu bapak "kalau milih hewan qurban itu kamu lihat, kuat gak kira-kira dia menjadi kendaraanmu besok di akherat. kira-kira kalau kamu naikin hewan qurban itu, patah ga kakinya" sebegitunya pikiran yang disampaiakan bapak dalam mengajari anaknya dalam hal berqurban.
Dulu ketika masih di bangku SMP sering mendengar guyonan orang-orang tentang qurban. " Kamu qurban apa? qurban perasaan" mungkin yang lagi ngobrol ini baru putus dari pacarnya. sering dan berulang-ulang kudengarkan bahwa ada yang qurban perasaan...boleh? ya enggaklah. yang disembelih ya hewan qurban bukan perasaan. Hmmm...khusnudzhon nya mungkin yang mereka maksud dengan mengorbankan perasaan memang bukan untuk pelaksanaan ibadah qurbannya ya tapi untuk hal yang lainnya. kalau dibaca lagi dari kisah Nabi Ibrahim atau yang lainnya yang berkenaan denga sabar, seringkali sabar itu muncul jika didukung oleh besarnya rasa cinta. Malah ada yang mengisahkan kenapa Allah menguji Nabi Ibrahim dengan perintah menyembelih anaknya tidak lain dalam rangka menguji seberapa besar cintanya Nabi Ibrahim kepada Allah, lebih besar mana cintanya kepada Allah atau kepada anaknya. Boleh jadi jokes tadi mengingatkan kembali bahwa ada rasa-perasaan yang mesti dikorbankan demi meningkatkan dan menumbuhkan rasa yang lain. Kita korbankan rasa "berkuasa" agar tidak lagi bersewenang-wenang kepada yang lain, kita korbankan rasa "kaya" supaya bisa lebih dermawan kepada yang membutuhkan, kita korbankan rasa "pintar" kita dengan tidak lagi membodohi orang lain, kita korbankan rasa "miskin" dengan merobohkan mental malas kita. Dan akhirnya kita korbankan rasa cinta kita terhadap "harta" demi menumbuhkan, memperbesar rasa cinta kita kepada Allah dan RasulNya. Pesan Allah sudah jelas mengenai hal ini, salah satunya "Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan temapat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya" Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik." (at Taubah: 24)
Di waktu seperti idul adha ini, bacaan apa yang sering kita dengar di masjid masjid atau di langgar? Iya, kalimat takbir dikumandangkan di mana-mana seakan kembali mengingatkan kita akan kebesaran Allah. Dan ketika kebesaran Allah itu muncul, maka tidak ada nilainya kita, kita hanyalah mahluk lemah yang hanya karena belas kasihNya bisa menikmati alam ciptaanNya. 
Akhir kata, hadits qudsi "wahai hambaKu, patulah kepadaKu jalankan semua perintahKu dan jangan ajari Aku bagaimana membalasmu" seperti kaligrafi di blog ini adalah penjelasan singkat mengenai bagaimana kita patuh kepadaNya. Seperti halnya nabi Ibrahim, Nabi Ismail. Kepatuhan tanpa tanya, kepatuhan tanpa ragu. Bukan patuh karena butuh.

Wallahu a'lam bishowab
Rumah sakit Islam Surabaya, 15 September 2016

Cak S
cerita selengkapnya