Selasa, 20 September 2016

Idul Adha, Momentum Kepatuhan

Bakar sate, bikin krengsengan, gule, dan asem asem bisa jadi sudah menjadi kegiatan rutin setiap idul qurban. Iya, di seluruh pelosok bumi, umat islam pada tanggal 10-13 dzulhijah melaksanakan ibadah qurban. Berbagai ukuran hewan qurban siap di qurbankan sebagai salah satu bentuk ketaatan kepada Gusti Allah.
Ibadah Qurban ini, tidak bisa dilepaskan dari kisah tentang Nabi Allah Ibrahim As beserta puteranya Nabi Ismail As juga sayidatina Hajar, istri nabi Ibrahim. Dalam kisah tersebut, nabi Ibrahim dikisahkan mendapatkan perintah untuk menyembelih putera tercintanya, Ismail As. Di sini Gusti Allah telah memberikan contoh kepada manusia, kita semua ini bagaimana seharusnya menjadi hamba yang patuh. Mari kita perhatikan, tidak ada sedikitpun keraguan di dalam hati nabi Ibrahim beserta keluarga dalam menjalankan apa yang sudah diamanatkan oleh Allah kepadanya. Sangat patuh, tanpa ada keraguan, tanpa bertanya. Kalau kita baca di AlQuran, begitu yakinnya mereka pada perintah Allah meskipun perintah itu datangnya lewat mimpi. Dan dengan keyakinan yang tinggi itulah mereka berhasil melawan ajakan iblis untuk berpaling dari perintahNya. 
Kepasrahan nabi Ismail dan Nabi Ibrahim dalam hal ini merupakan sebuah bentuk nyata dari sebuah kesabaran. Kisah ini diabadikan di alQuran seperti di Surat Ash shaaffaat 99-111. Dengan penuh keimanan memenuhi perintah dari Rabbnya.
Kesabaran Nabi Ibrahim ditunjukkan dengan rela mengorbankan anak yang sudah dinantikannya selama bertahun tahun, sebuah anugerah dan kebanggaan nabi Ibrahim ketika mendapatkan seorang putera. Di tengah kebahagian tersebut, harta yang paling berharga miliknya diminta oleh Gusti Allah. Putera beliau yang tercinta diminta Sang Khaliq. Apa yang beliau lakukan ketika dapat perintah ini? Tentu karena tingkat kesabaran dan kehambaan beliau sudah di level teratas, perintah ini dilakukan dengan penuh kepatuhan tanpa tanya dan ragu. Terus apa yang kita lakukan ketika mendapatkan perintah berkorban? Sudah gak usah berkorban dengan menyembelih anak, berapa banyak nikmat yang telah kita terima. Suatu saat ketika nikmat tersebut diminta lagi oleh Sang Pemberinya, kira-kira apa yang akan kita lakukan? Ketika kita diberi nikmat berupa harta, kemudian ada perintah untuk membersihkannya, apa yang kita lakukan? Berapa banyak harta yang kita korbankan untuk memenuhi perintahNya, berapa banyak untuk shodaqah, berapa untuk zakat, berapa untuk infaq, atau berapa yang sudah kita korbankan untuk memenuhi hasrat nafsu kita ? Mari kita hitung besar mana untuk memenuhi perintah atau untuk pemenuhan nafsu?
Nabi Ibrahim dalam berkorban tidak tanggung-tanggung, anaknya sendiri. Terkadang malu dengan kenyataan bahwa sering kali yang kita korbankan adalah yang sudah tidak kita senangi, ambil contoh semisal ketika ingin menyumbangkan pakaian ke korban bencana, maka yang kita kasihkan adalah yang sudah tidak kita gunakan atau senangi, contoh lain, dlam mengisi kontak infaq, yang sering kita(uppss saya ding) lakukan adalah lebih sering mengorbankan yang warna abu-abu daripada warna merah yang lebih kita cintai. banyak contoh lain yang mungkin bisa menggambarkan cara kita berkorban, yang selalu kita korbankan adalah sesuatu yang kurang baik. Ayo kita tanyakan pada diri kita sendir, dalam memilih hewan qurban kemarin, apa yang ada di benak kita, asal qurban, asal pilih, cari yang murah saja, atau malah cari yang paling bagus tapi mahal? Kan tidak ada syarat mahal, iya, tapi kan kalau menauladani Nabi Ibrahim, harus yang paling bagus paling dicintai toh. Apa sekarang yang paling kita cintai dan sayang? kalau aku dalam hal materi ya uanglah sekarang yang paling dicintai. Nah, mau ga sekarang kita mengorbankan uang kita untuk membeli hewan qurban yang berkualitas. Jadi inget pesen allahummaghfirlahu bapak "kalau milih hewan qurban itu kamu lihat, kuat gak kira-kira dia menjadi kendaraanmu besok di akherat. kira-kira kalau kamu naikin hewan qurban itu, patah ga kakinya" sebegitunya pikiran yang disampaiakan bapak dalam mengajari anaknya dalam hal berqurban.
Dulu ketika masih di bangku SMP sering mendengar guyonan orang-orang tentang qurban. " Kamu qurban apa? qurban perasaan" mungkin yang lagi ngobrol ini baru putus dari pacarnya. sering dan berulang-ulang kudengarkan bahwa ada yang qurban perasaan...boleh? ya enggaklah. yang disembelih ya hewan qurban bukan perasaan. Hmmm...khusnudzhon nya mungkin yang mereka maksud dengan mengorbankan perasaan memang bukan untuk pelaksanaan ibadah qurbannya ya tapi untuk hal yang lainnya. kalau dibaca lagi dari kisah Nabi Ibrahim atau yang lainnya yang berkenaan denga sabar, seringkali sabar itu muncul jika didukung oleh besarnya rasa cinta. Malah ada yang mengisahkan kenapa Allah menguji Nabi Ibrahim dengan perintah menyembelih anaknya tidak lain dalam rangka menguji seberapa besar cintanya Nabi Ibrahim kepada Allah, lebih besar mana cintanya kepada Allah atau kepada anaknya. Boleh jadi jokes tadi mengingatkan kembali bahwa ada rasa-perasaan yang mesti dikorbankan demi meningkatkan dan menumbuhkan rasa yang lain. Kita korbankan rasa "berkuasa" agar tidak lagi bersewenang-wenang kepada yang lain, kita korbankan rasa "kaya" supaya bisa lebih dermawan kepada yang membutuhkan, kita korbankan rasa "pintar" kita dengan tidak lagi membodohi orang lain, kita korbankan rasa "miskin" dengan merobohkan mental malas kita. Dan akhirnya kita korbankan rasa cinta kita terhadap "harta" demi menumbuhkan, memperbesar rasa cinta kita kepada Allah dan RasulNya. Pesan Allah sudah jelas mengenai hal ini, salah satunya "Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan temapat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya" Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik." (at Taubah: 24)
Di waktu seperti idul adha ini, bacaan apa yang sering kita dengar di masjid masjid atau di langgar? Iya, kalimat takbir dikumandangkan di mana-mana seakan kembali mengingatkan kita akan kebesaran Allah. Dan ketika kebesaran Allah itu muncul, maka tidak ada nilainya kita, kita hanyalah mahluk lemah yang hanya karena belas kasihNya bisa menikmati alam ciptaanNya. 
Akhir kata, hadits qudsi "wahai hambaKu, patulah kepadaKu jalankan semua perintahKu dan jangan ajari Aku bagaimana membalasmu" seperti kaligrafi di blog ini adalah penjelasan singkat mengenai bagaimana kita patuh kepadaNya. Seperti halnya nabi Ibrahim, Nabi Ismail. Kepatuhan tanpa tanya, kepatuhan tanpa ragu. Bukan patuh karena butuh.

Wallahu a'lam bishowab
Rumah sakit Islam Surabaya, 15 September 2016

Cak S

Tidak ada komentar:

Posting Komentar