Ada tiga bait syair di kitab tipis karya Imam Ghazali,
Ayyuhal walad(Wahai Anakku Yang Tercinta), kitab tipis namun dahsyat banget
isinya. Syair tersebut jika diartikan ke bahasa Indonesia isinya sebagai
berikut:
sesungguhnya memanggil-manggil di kegelapan malam burung
merpati yang bertengger di atas kayu. Ia terus saja menangis kerinduan,
sedangkan aku mabuk dalam tidurku.
Bohong, sebenarnya bohong aku, demi Tuhan yang memiliki
Baitullah. Seandainya aku benar seorang yang asyik(rindu akan Allah Ta'ala)
sudah tentu burung-burung itu tidak akan mendahuluiku menangis.
Aku mengaku bahwa aku seorang pecinta yang bersangatan
dahaga untuk bertemu kekasih, namun kenapa aku masih belum bisa menangis
seperti menangisnya binatang-binatang itu.
Syair inilah yang menginspirasiku untuk membuat design
kaos seperti gambar di atas. Bayangkan ke tawadhu'an dari seorang hujjatul
islam sekelas Imam Ghazali berlomba-lomba dalam hal kebaikan.
Iya, sejak ketemu sajak tadi, kutekadkan diri untuk
berkompetisi dengan burung-burung, bangun sebelum mereka berkicau..namun
alangkah malangnya diri ini karena sampai detik ini kalau di skoring masih
kalah jauh dari burung-burung itu, sepertinya jiwa dan tubuh ini masih saja
dipenuhi oleh rasa malas untuk bangun dan menangis seperti burung-burung itu.
Sebelum artikel ini ditulis, pernah kucerita tentang godaan dari jin dan
manusia dalam artikel dengan judul "Snooze" rupa-rupanya isi di
cerita tersebut terjadi pada diriku. berat memang sungguh berat menghadapi
godaan dari diri sendiri ini.
Ah, aku ga mau kalah ah dengan burung-burung itu,
kunyatakan bahwa mereka adalah kompetitorku dalam urusan ini. Tapi berat
rasanya melawan mereka jika jiwa ini, tubuh ini masih dipenuhi kemalasan.
Mengingat lagi pengajian yang lalu-lalu, bisa jadi kemalasan tubuh dan jiwaku
ini disebabkan tebalnya lemak dosa yang menempel di tubuh dan jiwa ini.
Dosa-dosa yang terus terkoleksi menebal karena kelalaian dan kurangnya
kesungguhan untuk menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya.
Satu-satunya jalan untuk mengurangi ketebalan lemak dosa ini hanyalah maghfiroh
dan rahmatNya. Bicara tentang maghfiroh atau ampunanNya, teringat kembali dawuh
Allahummaghfirlahu Gus Farib bin KH Achmad Shiddiq Jember ketika berkesempatan
bercengkrama di kediaman beliau yang sungguh adem. Tiba-tiba beliau cerita
tentang dua orang yang sama-sama berlomba menuju kebaikan, yang satu ketika
berbuat salah langsung minta maaf dan yang satunya selaku korban menahan
amarahnya dan memberikan maafnya, langsung beliau menyambung mengucapkan
penggalan satu ayat "wal kadziminal ghoido wal 'aafiina 'anin nas"
dan ini langsung menyembuhkan lukaku, for your information saja, ketika
berangkat ke kediaman beliau, hati ini penuh dengan kemarahan dan kejengkelan
kepada seseorang. Entah bagaimana bisa nyambung dengan cerita dari Gus Farid
tadi, mungkin itu salah satu kelebihan beliau. Selang beberapa lama kusempatkan
mencari penggalan surat tadi di AlQuran, dan masyaallah ternyata jika dibaca
lengkap dan menyeluruh, ternyata Gusti Allah memberikan petunjuk lewat dawuhnya
Gus Farid tadi bagaimana bersikap kepada si pembuat jengkel tadi. Mau tau
selengkapnya ayat tersebut? monggo dibuka AlQurannya di surat Ali Imron ayat
133-136. Apa isinya? ijinkan kubercerita sedikit ya..
Begini ceritanya, di ayat-ayat tadi kita dianjurkan untuk
berlomba-lomba menggapai maghfiroh dan surganya Gusti Allah, caranya? begini
caranya yang ternisbat dalam ayat-ayat tersebut.
Berinfaq/sedekah baik dalam keadaan lapang maupun susah.
Jangankan di waktu susah, di waktu lapang saja, manusia
model seperti aku ini sangat "eman" "terlalu sayang" jika
harta hasil kerja keras sampai menghabiskan waktu untuk keluarga dikeluarkan
untuk infaq. Rupa-rupanya inilah yang selama ini menjadi penghalang pintu maaf.
Padahal pernah dulu mendengarkan pengajian tentang ikhlas. Salah satu
pengertian ikhlas yang dijelaskan waktu itu adalah rasa berat. Begini
gampangnya, semisal kita punya uang 100juta terus kita infaq 10ribu perak
terasa berat ga? atau lebih berat mana ketika berinfaq 10jt? kalau kita memilih
berinfaq yang 10 ribu itu namanya gak ikhlas karena tidak ada artinya uang 10
ribu dibandingkan 100 juta, lain halnya dengan infaq 10 juta, lumayan berat
kan, dan kalau itu kita anggap berat namun tetap kita infaq-kan maka itulah
yang disebut ikhlas. Jadi gak ada istilah "sedikit gakpapa asal
ikhlas"..hehehe berat ya?
Sebenarnya ini yang coba ku latih, bahwa sebenarnya kalau kita ingat kondisi
kita saat dilahirkan, kita polos, tidak ada satupun atribut yang menempel di
badan kita, terus lama kelamaan kita belajar makan sampai pada akhirnya belajar
cari makan, siapa coba yang memberikan kita kemampuan untuk makan dan mencari
makan? Ilmu kita? gelar kita? pekerjaan kita? Bukan, itu semua hanyalah media
atau jalur, tetaplah yang memberi rizki kita adalah Gusti Allah. Memang Gusti
Allah tidak menyuapi kita secara langsung, namun dengan petunjukNya kita
diberikan jalan untuk mencari sumber-sumber makanan kita. Dengan mengingat
kembali asal usul kita setidaknya sekarang agak tidak "eman" untuk
mengeluarkan infaq, baik untuk keluarga mauun untuk amaliah ibadah yang lain.
Rahasia tentang infaq banyak sekali di hadits, alQuran maupun kisah-kisah
sahabat bahkan di masa kini, bagaimana sebenaranya infaq itu tidak akan membuat
kita miskin atau kekurangan. Namun ada satu ayat di alQuran yang kupegang erat
tentang infaq ini, di surat as saba ayat 39 disebutkan "apapun yang kamu
infaqkan maka Allah akan menggantinya". Nah, kalau sudah begini apakah
masih ada keraguan. ini ayat Qur'an loh yang tidak ada satupun keraguan
padanya.
Memang di situ tidak disebutkan bagaimana Allah
menggantinya, namun jika yang berjanji mengganti adalah Allah Rabbal 'Alamin
apakah masih kah ada keraguan? Memang sih, penggantian itu bisa jadi langsung,
tidak langsung, di dunia, di akherat nanti, bentuknya apa, kita semua tidak
tahu. Yang pasti akan diganti, dan bagiku itu sudah cukup karena apapun itu
pemberian dari Allah tidak lain adalah bentuk dari kasih sayangNya kepada
hambaNya. Ya...semoga saja dengan menulis gini bisa menjadi pengingatku untuk
tidak lagi malas berinfaq baik dalam keadaan lapang maupun susah, mugi-mugi
Gusti Allah selalu memberikan RahmatNya.
Menahan amarah dan memafkan kesalahan sesama manusia
Menurut C.P. Chaplin, Anger (marah, murka, berang,
gusar, kemarahan, kemurkaan, keberangan, kegusaran) adalah reaksi
emosional akut ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang merangsang, termasuk
ancaman, agresi lahiriah, pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan, atau
frustrasi, dan dicirikan oleh reaksi kuat pada sistem syaraf otonomik,
khususnya oleh reaksi darurat pada bagian simpatetik, dan secara implisit
disebabkan oleh reaksi serangan lahiriah, baik yang bersifat somatis atau
jasmaniah maupun yang verbal atau lisan. (CP. Chaplin, Dictionary of Psychology
Terj. Kartini Kartono).
Itu menurut Chaplin, menurut kalian bagaimana? kalau
pengalamanku seh amarah itu akan timbul jika adanya ketidak sesuaian antara
realita dan harapan. Menggarapkan ketenangan eh ada saja yang ganggu. Pengennya
pulang cepat-cepat eh ada saja yang menghalangi,. Pengen kerjaan cepat selesai
ehh ada saja gangguannya. Pengen anak nurut ehh malah ada saja tingkah polanya,
pengen makan ehh ga ada yang dimakan. Sesuatu yang tidak sejalan dengan cara
pikir dan kehendak kita. Selain itu terkadang amarahku dipancing ketika
diremehkan orang, dicuekin gara gara hanya pake sandal jepit, ga dilayani hanya
karena wajah kusam, dan lainnya. Istilah anak sekarang ketika gengsi
disinggung. Penyebab lainnya ketika yang menjadi hak kita dilanggar, atau
penyebab sepeleh seperti diklakson klakson terus.
Apapun penyebabnya seharusnya kita ga boleh kalah dengan
amarah kita. Caranya gimana? Ya seperti tadi, berlatih dan berlatih,
berat? Ya kudu dipaksa. Terkadang untuk memperoleh uang kita memaksa diri kita
untuk giat bekerja, untuk memperoleh tubuh yang ideal kita paksa kita latih
terus tubuh kita, olah raga, menjaga makan dan lain lain. Intinya ketika kita
mau bersusah susah mendapatkan yang kita idamkan, maka selanjutnya tidak ada
alasan lagi untuk belajar bersabar.
Ini bukan trik, tapi cerita saja bagaimana biasanya
diriku menahan amarah:
Menunda marah sekian detik, bisa dengan menghela nafas
panjang, ambil wudlu. Kalau gak yang kulakaukan adalah mengingat apa yang dulu pernah didawuhkan oleh Allahummaghfirlahu bapak, bahwa ketika kita marah maka kita telah menghilangkan 2/3 dari otak kita, makanya ketika ada orang marah yang keluar bisa jadi hanya makian dan amarah bukan solusi untuk menyelesaikan masalah. Sayang sekali otak yang begitu berharga itu tidak kita pergunakan hanya karena emosi sesaat kita. selanjutnya yang agak ampuh
adalah dengan mengingat kebaikan orang yang akan kita marahi, dan mengingat
bahwa setiap orang itu punya kehendak dan cara pikir juga yang mungkin akan
berbeda dengan kita. Selama perbedaan pola pikir dan tidakan itu tidak
menciderai iman seh okay, tapi kalo sudah menghina Allah dan Kanjeng Nabi yo
gak bisa di biarkan. Semisal saja dalam menghadapi anak-anak, ya gak bisa terus
kita berharap anak itu akan nurut terus lah wong dunia mereka juga berbeda
dengan kita, apa yang kita anggap serius bisa jadi mereka anggap sebagai
guyonan, lah kalau kita terpancing ya berarti kita masih kanak-kanak. Atau kalu tidak coba ingat-ingat ketika kita masih kecil dulu, mungkin kita juga seperti anak-anak itu, rewel, gak mau makan, gak mau tidur siang. Itu semua adalah perilaku yang boleh jadi semua anak akan mengalaminya, cara meredam amarah adalah dengan menginat perilaku kita jaman dulu. Berat? ya
berat, tapi harus dilatih. Terus ada saja gangguan dari orang yang pengennya
menang terus, wah ini juga agak susah. Pengalamanku dalam menghadapi orang
seperti ini ya harus mengalah atau kalau tidak bisa ya dihindari saja. Kalau
kata Morrie Schwartz seperti tertulis di buku Tuesdays with Morrie karangan
Mitch Albom, terkadang kita memang harus mematikan rasa. Selama dia tidak
menginjak injak keimanan kita dan harga diri. wiik harga diri? apa itu? ga tau
aku, mungkin kalian yang bisa menjawabnya sendiri. Bagaomana kemudia jika orang itu salah dan mesti kita ingatkan? ya sampaikan dengan ma'ruf, dengan baik dan lemah lembut..abot ya? berat ya? ya, mari kita berdoa semoga bisa mengamalkannya.
Ada juga orang yang akan puas jika bisa memarahi orang
lain, akan lega hatinya jika bisa meluapkan emosi dan amarahnya, kalau sudah
ketemu orang seperti ini mending kita menambah level kesabaran kita sambil
terus meminta pertolongan Gusti Allah. Garis tebal kiranya perlu diberikan pada
kalimat menahan amarah, karena ini tertulis di alQuran maka ini adalah sebuah
petunjuk yang mesti kita lakukan. Perkara puas dan tidak puas bisa jadi itu
hanyalah hasrat sesaat kepuasan sesaat yang akan menjadi petaka di kemudian
hari. Bisa jadi luapan emosi tersbut terjadi karena kebencian yang terus
menumpuk terhadap sesorang kemudian meluap menjadi letupan kalimat yang jahat.
Apakah salah? salah. jelas petunjuknya adalah menahan amarah. Bahayanya adalah
ketika pemenuhan kepuasan ini dianggap benar, ketika ini terjadi maka akan ada
pembenaran akan hal ini, dianggap benar jika marah, dianggap wajar jika
menghardik orang, dianggap sah jika melukai hati seseorang, dan pelakunya kan
merasa bahwa yang dia lakukan adalah sesuatu yang benar. Padahal itu adalah
kepuasaan sesaat dibalik dosa dan adzab yang mengintai.
Yaaa..semoga saja kita semua bisa bersabar, dan mau terus
melatih kesabaran.
Setelah menahan amarah, di ayat tersebut kita juga di
suruh memberikan maaf kepada sesama manusia, banyangkan ada orang yang selalu
merendahkan, menghina dan mendzolimi dan kita mesti memaafkan dia. Wow,
memang sungguh berat jalan mendapat ampunan dan surga ini, apakah ini sesuatu
yang tidak mungkin? ini mungkin dan sangat bisa untuk dilakukan. Coba siapa
suri tauldan kita? Kanjeng Nabi Muhammad kan, atau kalian punya panutan yang
lain? kalau aku sih cukup kanjeng Nabi. Tentu masih ingat dan hapal tentang
kisah beliau yang ditimbuki batu, dilempari kotoran dan disoraki ketika
melawati daerah Thaif. Apa yang beliau lakukan marah kah? padahal kala itu
Malaikat Jibril menawarkan akan membalas meraka dengan melempar satu dua gunung
ke warga Thaif. Namun manusia paling mulia itu menolaknya karena beliau masih
menaruh harapan bagi mereka untuk menjadi lebih baik di kemudian hari. Mau
kisah yang lain? di shahih bukhari juga ada kejadian yang disaksikan Abdullah
bin Mas'ud ketika Abu Jahal dan kroninya antara lain Utbah bin Rabi’ah, Syaibah
bin Rabi’ah, al-Walid bin Utbah, Umayyah bin Khalaf, serta Uqbah bin Abi Mu’ith
dengan sangat keji menaruh kotoran hewan di kepala Kanjeng Nabi tatkala beliau
bersujud ke ilahi. Kurang ajar banget kan, kalaian tau apa yang dilakukan oleh
Kanjeng Nabi? beliau tidak marah, siti Fatimah puteri beliau terkasih yang
kemudian membersihkannya, Beliau tidak memerintahkan para sahabatnya untuk
membalas perbuatan keji itu. Sudahlah, banyak lagi kisah tentang bagaiamana
Kanjeng Nabi diperlakukan sangat hina oleh kaum Quraisy, dengan penuh kesabaran
beliau menghadapinya. Ini adalah bukti bahwa seorang manusia bisa bersabar.
Tapi kita kan bukan Nabi, iya bukan Nabi tapi adalah wajib bagi kita untuk
meneladani Kanjeng Nabi, kalau bukan Kanjeng Nabi yang kita contoh lantas siapa
lagi yang pantas kita tiru dan contoh.
Cepat cepat mengingat Allah dan memohon ampunanNya
setelah melakukan kesalahan dan kedzaliman
Manusia itu diciptkan dengan segala keterbatasan dan
hasrat, dan tidak jarang keterbatasan dan hasrat itulah yang membawa manusia
untuk berbuat kejahatan. Kejahatan, kesalahan dan kedzaliman adalah sesuatu
yang sangat susah untuk tidak kita lakukan, bisa ke sesama manusia bisa juga ke
Sang Khaliq. Di lain pihak kita diminta untuk tidak pernah berputus asa akan
rahmatNya Gusti Allah. Diharapkan dengan banyak berdzikir dan memohon
ampunanNya kita bisa merengkuh rahmatNya tadi. Seperti peha kuceritakan di
artikel Hatiku Remuk, bahwa esensi dari dzikir tidak hanya melafalkan lafad
dzikirnya saja tapi memahami juga apa yang kita lafalkan. Lafal Allahu Akbar
mengingatkan kita bahwa kebesaran itu hanya milik Allah, tidak sedikitpun hak
pada kita untuk merasa besar dan menyombogkan diri, dengan begitu insyaallah
kita bisa mengurangi kedzaliman kita yang berupa menghina, merendahkan orang
lain. tidak lagi begitu pongah kepada siapapun baik yang di atas kita maupun
yang di bawah kita.
Lafal dzikir Alchamdulillah, esensinya adalah untuk
mengingatkan kepada kita untuk terus bersyukur terhadapa pemberian Gusti Allah
baik itu ikmat ataupun cobaan, dengan terus bersyukur inilah diharapkan kita
bisa mengurangi kesalahan berupa berputus asa, serta mengubahnya menjadi energi
untuk berbagi dengan sesama. Banyak lagi lafal dzikir yang bisa dilafalkan
begitu juga lafal untuk memohon ampunan Gusti Allah. Alangkah lebih baik lagi
jika lafal-lafal tersebut bisa kita maknai esensinya dan kemudian menjadikannya
sebagai alat untuk meningkatkan kebaikan kita baik kepada sesama manusia maupun
menambah nilai pengabdian kita kepada Allah Subchanallahu Wa Ta'ala.
Demikian kiranya cerita ini akan berakhir di sini,
dipenghujung cerita ini untuk menambah semangat kompetisi kita dengan
burung-burung tersebut, mari kita simak dawuh Sufyan al Tsauri yang tertulis di
kitab ini. Sesungguhnya Allah SWT menciptakan angin yang berhembus pada waktu
sahur dan membawa dzikir-dzikir dan istighfar kepada Allah Malikil Jabbar.
Sufyan juga berkata : “Pada awal malam seorang penyeru memanggil dari bawah
‘Arsy : Wahai para ahli ibadah bangunlah! Kemudian mereka bangun dan shalat. Ma
Sya’a Allah. Kemudian sang penyeru Memanggil (lagi) pada tengah malam (setelah
awal malam) Wahai orang-orang yang taat kepada Allah, bangunlah! Kemudian
mereka bangun dan shalat sampai dating waktu sahur, dan ketika waktu sahur itu
si Penyeru memanggil (lagi) Wahai para Mustaghfirin (yang meminta ampunan
Allah) bangunlah! Maka mereka (pun) bangun dan beristighfar (kepada Allah). Dan
ketika fajar menyingsing si Penyeru memanggil (lagi) Wahai para Ghafilun (yang
lalai) bangunlah! Kemudian mereka bangun dari tempat tidurnya seperti mayit
yang di bangkitkan dari kuburnya”.
Wallahu 'alam bisshowab
Surabaya, 5 Oktober 2016
cak S