"Tidak patutkah aku menjadi hamba yang bersyukur?" |
"Tidak patutkah aku menjadi hamba yang
bersyukur?"
Kalau saja yang menyatakan pertanyaan di atas adalah
seorang CakS mungkin akan biasa saja. Tapi ada cerita dibalik pertanyaan itu.
Dan beginilah ceritanya...
Cerita ini pernah didengarkan juga ketika ikut sholat
jumat di kantor. Suatu hari ummul mukminin sayidatina Aisyah sebelum tidur
mendapati kanjeng Nabi Muhammad sholat sunnah, ketika sayidatina Aisyah
terbangun beliau ngedapati Kanjeng Nabi masih sholat, dan ketika beliau bangun
dari tidur beliau mendapati Kanjeng Nabi masih juga menjalankan sholat sunnah.
Beliau heran kenapa seorang yang sudah dijamin surga masih saja melakukan
ibadah segiat itu. Rasa ingin tau ini yang mendorong sayidatina Aisyah bertanya
kepada Rasulullah.
Pertanyaan yang juga pernah terekam disebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Diriwayatkan oleh Qutaibah bin Sa’id, juga oleh Basyar bin
Mu’adz, dari Abu `Awanah,dari Ziyad bin `Alaqah, yang bersumber dari al
Mughirah bin Syu’bah r.a Rasulullah
berdiri (shalat) sampai bengkak kedua kakinya. Kepadanya ditanyakan: “Mengapa
Anda membebani diri dengan hal yang demikian?Bukankah Allah swt. Telah
mengampuni Anda dari segala dosa Anda, baik yang terdahulu maupun yang akan
datang?” Rasulullah saw. Bersabda : “Tidak patutkah saya menjadi hamba Allah
yang bersyukur?”(mutafaqun ‘alaih) dan bisa dilihat juga di kitab syarah
ratibul haddad dalam bab sholat malam.
Yang menarik adalah begitu tawadlu’nya Rasulullah,
seorang yang sudah dijamin kebahagiaan dunia akheratnya, manusia unggulan,
manusia tersabar dan terbaik masih saja berharap diakui oleh sebagai hamba yang
bersyukur oleh Rabnya. Iya, kalau seorang Rasulallah, nabi Allah berharap untuk
menjadi hamba yang bersyukur maka wajiblah bagi kita manusia hina ini untuk
mengharapkan dan berjuan untuk menjadi hamba yang bersyukur. Tentang syukur ini
sudah pernah disinggung di artikel sebelumnya “antara miracle fruit dan syukur”.
Di hadits di atas Kanjeng Nabi sudah memberikan bocoran jurus
yang bisa kita gunakan untuk menjadi hamba yang bersyukur yaitu senantiasa
berusaha beribadah dengan sungguh-sungguh. Apa sih parameter kesungguhan kita
beribadah? Menyimak hadits di atas, Kanjeng Nabi itu sholat sampai bengkak
kedua kakinya yang bisa jadi mengindikasikan berapa banyak sholat yang beliau
lakukan, berapa banyak waktu yang beliau habiskan untuk memujaNya.
Itu kan Rasul, begitu kira-kira argument dari otakku yang
sering hang ini. Memang kita bisa nyontoh Ibadahnya Nabi? Sisi jiwaku yang lain
menyatakan, loh harus itu, kalau target kehidupan duniawi saja diset di level
yang tinggi, kenapa untuk ibadah tidak kita set yang tinggi juga. Dan, level
ibadah yang tinggi adalah apa yang sudah dicontohkan dan diamalkan Kanjeng Nabi,
bukankah Kanjeng Nabi sendiri pernah bilang misal dalam urusan sholat, “Sholatlah seperti kamu melihat aku sholat” ,
Menurutku rugi jika hadits ini hanya diartikan dalam hal gerakan sholat. Tapi
lihatlah hadits ini secara keseluruhan, misal mulai dari bagaimana cara Nabi
mempersiapkan sholatnya, thoharoh, sampai seberapa sering Nabi sholat. Berapa rakaat
beliau lakukan setiap harinya, siang dan malamnya.
Haruskah kita menghabiskan waktu kita untuk beribadah
kepada Allah? Loh, bukankah kita diciptakan untuk beribadah? Bagaimana pekerjaan
kita, bagaimana keluarga kita dll? Ngene cak, kata jiwaku yang lain. Jadi
ibadah itu banyak ragamnya ada ibadah maghdo dan ghoirul maghdo. Jadi jika
semua kegiatan sehari-hari kita diniati badah ya insyaallah bernilai ibadah. Bukan
berarti juga ketika kita memperbanyak ibadah maghdo akan mengorbankan kehidupan
kita, tinggal pandai-pandainya kita saja mengatur ritme dan waktunya
Begini, kenapa kita perlu beribadah sebanyak-banyaknya?jawabnya
adalah soal keyakinan, emang yakin semua ibadah yang kita lakukan itu diterima?
Ayo tengok lagi ibadah kita, sudah bener ga wudhu kita, sudah pas ga niat kita,
sudah cukup tuma’ninah kah kita? Dan, sudah ikhlaskah kita beribadah kepada
Allah? Selama ini kita sibuk mengejar sesuatu yang sudah dijanjikan Allah akan
dipenuhi, salah satu yang kita takutkan adalah soal rizki kan? Bukankah Allah
seperti termaktub dalam AlQuran telah mengatakan “Setiap yang hidup di bumi
telat ditetapkan Allah rizkinya”. Terus sudahkah kita menjaminkan hidup kita ini
untuk beribadah kepada Allah?Wallahu a'lam bishowab
Surabaya, 27 Juli 2016
diselingi bau sate...dilantai 16 yang bersahaja
cakS
cerita selengkapnya