Rabu, 05 Oktober 2016

The Competitor

Ada tiga bait syair di kitab tipis karya Imam Ghazali, Ayyuhal walad(Wahai Anakku Yang Tercinta), kitab tipis namun dahsyat banget isinya. Syair tersebut jika diartikan ke bahasa Indonesia isinya sebagai berikut:

sesungguhnya memanggil-manggil di kegelapan malam burung merpati yang bertengger di atas kayu. Ia terus saja menangis kerinduan, sedangkan aku mabuk dalam tidurku.

Bohong, sebenarnya bohong aku, demi Tuhan yang memiliki Baitullah. Seandainya aku benar seorang yang asyik(rindu akan Allah Ta'ala) sudah tentu burung-burung itu tidak akan mendahuluiku menangis.

Aku mengaku bahwa aku seorang pecinta yang bersangatan dahaga untuk bertemu kekasih, namun kenapa aku masih belum bisa menangis seperti menangisnya binatang-binatang itu.

Syair inilah yang menginspirasiku untuk membuat design kaos seperti gambar di atas. Bayangkan ke tawadhu'an dari seorang hujjatul islam sekelas Imam Ghazali berlomba-lomba dalam hal kebaikan.
Iya, sejak ketemu sajak tadi, kutekadkan diri untuk berkompetisi dengan burung-burung, bangun sebelum mereka berkicau..namun alangkah malangnya diri ini karena sampai detik ini kalau di skoring masih kalah jauh dari burung-burung itu, sepertinya jiwa dan tubuh ini masih saja dipenuhi oleh rasa malas untuk bangun dan menangis seperti burung-burung itu. Sebelum artikel ini ditulis, pernah kucerita tentang godaan dari jin dan manusia dalam artikel dengan judul "Snooze" rupa-rupanya isi di cerita tersebut terjadi pada diriku. berat memang sungguh berat menghadapi godaan dari diri sendiri ini.

Ah, aku ga mau kalah ah dengan burung-burung itu, kunyatakan bahwa mereka adalah kompetitorku dalam urusan ini. Tapi berat rasanya melawan mereka jika jiwa ini, tubuh ini masih dipenuhi kemalasan. Mengingat lagi pengajian yang lalu-lalu, bisa jadi kemalasan tubuh dan jiwaku ini disebabkan tebalnya lemak dosa yang menempel di tubuh dan jiwa ini. Dosa-dosa yang terus terkoleksi menebal karena kelalaian dan kurangnya kesungguhan untuk menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Satu-satunya jalan untuk mengurangi ketebalan lemak dosa ini hanyalah maghfiroh dan rahmatNya. Bicara tentang maghfiroh atau ampunanNya, teringat kembali dawuh Allahummaghfirlahu Gus Farib bin KH Achmad Shiddiq Jember ketika berkesempatan bercengkrama di kediaman beliau yang sungguh adem. Tiba-tiba beliau cerita tentang dua orang yang sama-sama berlomba menuju kebaikan, yang satu ketika berbuat salah langsung minta maaf dan yang satunya selaku korban menahan amarahnya dan memberikan maafnya, langsung beliau menyambung mengucapkan penggalan satu ayat "wal kadziminal ghoido wal 'aafiina 'anin nas" dan ini langsung menyembuhkan lukaku, for your information saja, ketika berangkat ke kediaman beliau, hati ini penuh dengan kemarahan dan kejengkelan kepada seseorang. Entah bagaimana bisa nyambung dengan cerita dari Gus Farid tadi, mungkin itu salah satu kelebihan beliau. Selang beberapa lama kusempatkan mencari penggalan surat tadi di AlQuran, dan masyaallah ternyata jika dibaca lengkap dan menyeluruh, ternyata Gusti Allah memberikan petunjuk lewat dawuhnya Gus Farid tadi bagaimana bersikap kepada si pembuat jengkel tadi. Mau tau selengkapnya ayat tersebut? monggo dibuka AlQurannya di surat Ali Imron ayat 133-136. Apa isinya? ijinkan kubercerita sedikit ya..

Begini ceritanya, di ayat-ayat tadi kita dianjurkan untuk berlomba-lomba menggapai maghfiroh dan surganya Gusti Allah, caranya? begini caranya yang ternisbat dalam ayat-ayat tersebut.
Berinfaq/sedekah baik dalam keadaan lapang maupun susah.
Jangankan di waktu susah, di waktu lapang saja, manusia model seperti aku ini sangat "eman" "terlalu sayang" jika harta hasil kerja keras sampai menghabiskan waktu untuk keluarga dikeluarkan untuk infaq. Rupa-rupanya inilah yang selama ini menjadi penghalang pintu maaf. Padahal pernah dulu mendengarkan pengajian tentang ikhlas. Salah satu pengertian ikhlas yang dijelaskan waktu itu adalah rasa berat. Begini gampangnya, semisal kita punya uang 100juta terus kita infaq 10ribu perak terasa berat ga? atau lebih berat mana ketika berinfaq 10jt? kalau kita memilih berinfaq yang 10 ribu itu namanya gak ikhlas karena tidak ada artinya uang 10 ribu dibandingkan 100 juta, lain halnya dengan infaq 10 juta, lumayan berat kan, dan kalau itu kita anggap berat namun tetap kita infaq-kan maka itulah yang disebut ikhlas. Jadi gak ada istilah "sedikit gakpapa asal ikhlas"..hehehe berat ya?
Sebenarnya ini yang coba ku latih, bahwa sebenarnya kalau kita ingat kondisi kita saat dilahirkan, kita polos, tidak ada satupun atribut yang menempel di badan kita, terus lama kelamaan kita belajar makan sampai pada akhirnya belajar cari makan, siapa coba yang memberikan kita kemampuan untuk makan dan mencari makan? Ilmu kita? gelar kita? pekerjaan kita? Bukan, itu semua hanyalah media atau jalur, tetaplah yang memberi rizki kita adalah Gusti Allah. Memang Gusti Allah tidak menyuapi kita secara langsung, namun dengan petunjukNya kita diberikan jalan untuk mencari sumber-sumber makanan kita. Dengan mengingat kembali asal usul kita setidaknya sekarang agak tidak "eman" untuk mengeluarkan infaq, baik untuk keluarga mauun untuk amaliah ibadah yang lain. Rahasia tentang infaq banyak sekali di hadits, alQuran maupun kisah-kisah sahabat bahkan di masa kini, bagaimana sebenaranya infaq itu tidak akan membuat kita miskin atau kekurangan. Namun ada satu ayat di alQuran yang kupegang erat tentang infaq ini, di surat as saba ayat 39 disebutkan "apapun yang kamu infaqkan maka Allah akan menggantinya". Nah, kalau sudah begini apakah masih ada keraguan. ini ayat Qur'an loh yang tidak ada satupun keraguan padanya.
Memang di situ tidak disebutkan bagaimana Allah menggantinya, namun jika yang berjanji mengganti adalah Allah Rabbal 'Alamin apakah masih kah ada keraguan? Memang sih, penggantian itu bisa jadi langsung, tidak langsung, di dunia, di akherat nanti, bentuknya apa, kita semua tidak tahu. Yang pasti akan diganti, dan bagiku itu sudah cukup karena apapun itu pemberian dari Allah tidak lain adalah bentuk dari kasih sayangNya kepada hambaNya. Ya...semoga saja dengan menulis gini bisa menjadi pengingatku untuk tidak lagi malas berinfaq baik dalam keadaan lapang maupun susah, mugi-mugi Gusti Allah selalu memberikan RahmatNya.

Menahan amarah dan memafkan kesalahan sesama manusia
Menurut C.P. Chaplin, Anger (marah, murka, berang, gusar,  kemarahan, kemurkaan, keberangan, kegusaran) adalah reaksi emosional akut ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang merangsang, termasuk ancaman, agresi lahiriah, pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan, atau frustrasi, dan dicirikan oleh reaksi kuat pada sistem syaraf otonomik, khususnya oleh reaksi darurat pada bagian simpatetik, dan secara implisit disebabkan oleh reaksi serangan lahiriah, baik yang bersifat somatis atau jasmaniah maupun yang verbal atau lisan. (CP. Chaplin, Dictionary of Psychology Terj. Kartini Kartono).
Itu menurut Chaplin, menurut kalian bagaimana? kalau pengalamanku seh amarah itu akan timbul jika adanya ketidak sesuaian antara realita dan harapan. Menggarapkan ketenangan eh ada saja yang ganggu. Pengennya pulang cepat-cepat eh ada saja yang menghalangi,. Pengen kerjaan cepat selesai ehh ada saja gangguannya. Pengen anak nurut ehh malah ada saja tingkah polanya, pengen makan ehh ga ada yang dimakan. Sesuatu yang tidak sejalan dengan cara pikir dan kehendak kita. Selain itu terkadang amarahku dipancing ketika diremehkan orang, dicuekin gara gara hanya pake sandal jepit, ga dilayani hanya karena wajah kusam, dan lainnya. Istilah anak sekarang ketika gengsi disinggung. Penyebab lainnya ketika yang menjadi hak kita dilanggar, atau penyebab sepeleh seperti diklakson klakson terus.
Apapun penyebabnya seharusnya kita ga boleh kalah dengan amarah kita.  Caranya gimana? Ya seperti tadi, berlatih dan berlatih, berat? Ya kudu dipaksa. Terkadang untuk memperoleh uang kita memaksa diri kita untuk giat bekerja, untuk memperoleh tubuh yang ideal kita paksa kita latih terus tubuh kita, olah raga, menjaga makan dan lain lain. Intinya ketika kita mau bersusah susah mendapatkan yang kita idamkan, maka selanjutnya tidak ada alasan lagi untuk belajar bersabar. 
Ini bukan trik, tapi cerita saja bagaimana biasanya diriku menahan amarah:
Menunda marah sekian detik, bisa dengan menghela nafas panjang, ambil wudlu. Kalau gak yang kulakaukan adalah mengingat apa yang dulu pernah didawuhkan oleh Allahummaghfirlahu bapak, bahwa ketika kita marah maka kita telah menghilangkan 2/3 dari otak kita, makanya ketika ada orang marah yang keluar bisa jadi hanya makian dan amarah bukan solusi untuk menyelesaikan masalah. Sayang sekali otak yang begitu berharga itu tidak kita pergunakan hanya karena emosi sesaat kita. selanjutnya yang agak ampuh adalah dengan mengingat kebaikan orang yang akan kita marahi, dan mengingat bahwa setiap orang itu punya kehendak dan cara pikir juga yang mungkin akan berbeda dengan kita. Selama perbedaan pola pikir dan tidakan itu tidak menciderai iman seh okay, tapi kalo sudah menghina Allah dan Kanjeng Nabi yo gak bisa di biarkan. Semisal saja dalam menghadapi anak-anak, ya gak bisa terus kita berharap anak itu akan nurut terus lah wong dunia mereka juga berbeda dengan kita, apa yang kita anggap serius bisa jadi mereka anggap sebagai guyonan, lah kalau kita terpancing ya berarti kita masih kanak-kanak. Atau kalu tidak coba ingat-ingat ketika kita masih kecil dulu, mungkin kita juga seperti anak-anak itu, rewel, gak mau makan, gak mau tidur siang. Itu semua adalah perilaku yang boleh jadi semua anak akan mengalaminya, cara meredam amarah adalah dengan menginat perilaku kita jaman dulu. Berat? ya berat, tapi harus dilatih. Terus ada saja gangguan dari orang yang pengennya menang terus, wah ini juga agak susah. Pengalamanku dalam menghadapi orang seperti ini ya harus mengalah atau kalau tidak bisa ya dihindari saja. Kalau kata Morrie Schwartz seperti tertulis di buku Tuesdays with Morrie karangan Mitch Albom, terkadang kita memang harus mematikan rasa. Selama dia tidak menginjak injak keimanan kita dan harga diri. wiik harga diri? apa itu? ga tau aku, mungkin kalian yang bisa menjawabnya sendiri. Bagaomana kemudia jika orang itu salah dan mesti kita ingatkan? ya sampaikan dengan ma'ruf, dengan baik dan lemah lembut..abot ya? berat ya? ya, mari kita berdoa semoga bisa mengamalkannya.
Ada juga orang yang akan puas jika bisa memarahi orang lain, akan lega hatinya jika bisa meluapkan emosi dan amarahnya, kalau sudah ketemu orang seperti ini mending kita menambah level kesabaran kita sambil terus meminta pertolongan Gusti Allah. Garis tebal kiranya perlu diberikan pada kalimat menahan amarah, karena ini tertulis di alQuran maka ini adalah sebuah petunjuk yang mesti kita lakukan. Perkara puas dan tidak puas bisa jadi itu hanyalah hasrat sesaat kepuasan sesaat yang akan menjadi petaka di kemudian hari. Bisa jadi luapan emosi tersbut terjadi karena kebencian yang terus menumpuk terhadap sesorang kemudian meluap menjadi letupan kalimat yang jahat. Apakah salah? salah. jelas petunjuknya adalah menahan amarah. Bahayanya adalah ketika pemenuhan kepuasan ini dianggap benar, ketika ini terjadi maka akan ada pembenaran akan hal ini, dianggap benar jika marah, dianggap wajar jika menghardik orang, dianggap sah jika melukai hati seseorang, dan pelakunya kan merasa bahwa yang dia lakukan adalah sesuatu yang benar. Padahal itu adalah kepuasaan sesaat dibalik dosa dan adzab yang mengintai.
Yaaa..semoga saja kita semua bisa bersabar, dan mau terus melatih kesabaran.
Setelah menahan amarah, di ayat tersebut kita juga di suruh memberikan maaf kepada sesama manusia, banyangkan ada orang yang selalu merendahkan, menghina dan mendzolimi dan kita mesti memaafkan dia.  Wow, memang sungguh berat jalan mendapat ampunan dan surga ini, apakah ini sesuatu yang tidak mungkin? ini mungkin dan sangat bisa untuk dilakukan. Coba siapa suri tauldan kita? Kanjeng Nabi Muhammad kan, atau kalian punya panutan yang lain? kalau aku sih cukup kanjeng Nabi. Tentu masih ingat dan hapal tentang kisah beliau yang ditimbuki batu, dilempari kotoran dan disoraki ketika melawati daerah Thaif. Apa yang beliau lakukan marah kah? padahal kala itu Malaikat Jibril menawarkan akan membalas meraka dengan melempar satu dua gunung ke warga Thaif. Namun manusia paling mulia itu menolaknya karena beliau masih menaruh harapan bagi mereka untuk menjadi lebih baik di kemudian hari. Mau kisah yang lain? di shahih bukhari juga ada kejadian yang disaksikan Abdullah bin Mas'ud ketika Abu Jahal dan kroninya antara lain Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, al-Walid bin Utbah, Umayyah bin Khalaf, serta Uqbah bin Abi Mu’ith dengan sangat keji menaruh kotoran hewan di kepala Kanjeng Nabi tatkala beliau bersujud ke ilahi. Kurang ajar banget kan, kalaian tau apa yang dilakukan oleh Kanjeng Nabi? beliau tidak marah, siti Fatimah puteri beliau terkasih yang kemudian membersihkannya, Beliau tidak memerintahkan para sahabatnya untuk membalas perbuatan keji itu. Sudahlah, banyak lagi kisah tentang bagaiamana Kanjeng Nabi diperlakukan sangat hina oleh kaum Quraisy, dengan penuh kesabaran beliau menghadapinya. Ini adalah bukti bahwa seorang manusia bisa bersabar. Tapi kita kan bukan Nabi, iya bukan Nabi tapi adalah wajib bagi kita untuk meneladani Kanjeng Nabi, kalau bukan Kanjeng Nabi yang kita contoh lantas siapa lagi yang pantas kita tiru dan contoh.

Cepat cepat mengingat Allah dan memohon ampunanNya setelah melakukan kesalahan dan kedzaliman
Manusia itu diciptkan dengan segala keterbatasan dan hasrat, dan tidak jarang keterbatasan dan hasrat itulah yang membawa manusia untuk berbuat kejahatan. Kejahatan, kesalahan dan kedzaliman adalah sesuatu yang sangat susah untuk tidak kita lakukan, bisa ke sesama manusia bisa juga ke Sang Khaliq. Di lain pihak kita diminta untuk tidak pernah berputus asa akan rahmatNya Gusti Allah. Diharapkan dengan banyak berdzikir dan memohon ampunanNya kita bisa merengkuh rahmatNya tadi. Seperti peha kuceritakan di artikel Hatiku Remuk, bahwa esensi dari dzikir tidak hanya melafalkan lafad dzikirnya saja tapi memahami juga apa yang kita lafalkan. Lafal Allahu Akbar mengingatkan kita bahwa kebesaran itu hanya milik Allah, tidak sedikitpun hak pada kita untuk merasa besar dan menyombogkan diri, dengan begitu insyaallah kita bisa mengurangi kedzaliman kita yang berupa menghina, merendahkan orang lain. tidak lagi begitu pongah kepada siapapun baik yang di atas kita maupun yang di bawah kita.
Lafal dzikir Alchamdulillah, esensinya adalah untuk mengingatkan kepada kita untuk terus bersyukur terhadapa pemberian Gusti Allah baik itu ikmat ataupun cobaan, dengan terus bersyukur inilah diharapkan kita bisa mengurangi kesalahan berupa berputus asa, serta mengubahnya menjadi energi untuk berbagi dengan sesama. Banyak lagi lafal dzikir yang bisa dilafalkan begitu juga lafal untuk memohon ampunan Gusti Allah. Alangkah lebih baik lagi jika lafal-lafal tersebut bisa kita maknai esensinya dan kemudian menjadikannya sebagai alat untuk meningkatkan kebaikan kita baik kepada sesama manusia maupun menambah nilai pengabdian kita kepada Allah Subchanallahu Wa Ta'ala.

Demikian kiranya cerita ini akan berakhir di sini, dipenghujung cerita ini untuk menambah semangat kompetisi kita dengan burung-burung tersebut, mari kita simak dawuh Sufyan al Tsauri yang tertulis di kitab ini. Sesungguhnya Allah SWT menciptakan angin yang berhembus pada waktu sahur dan membawa dzikir-dzikir dan istighfar kepada Allah Malikil Jabbar. Sufyan juga berkata : “Pada awal malam seorang penyeru memanggil dari bawah ‘Arsy : Wahai para ahli ibadah bangunlah! Kemudian mereka bangun dan shalat. Ma Sya’a Allah. Kemudian sang penyeru Memanggil (lagi) pada tengah malam (setelah awal malam) Wahai orang-orang yang taat kepada Allah, bangunlah! Kemudian mereka bangun dan shalat sampai dating waktu sahur, dan ketika waktu sahur itu si Penyeru memanggil (lagi) Wahai para Mustaghfirin (yang meminta ampunan Allah) bangunlah! Maka mereka (pun) bangun dan beristighfar (kepada Allah). Dan ketika fajar menyingsing si Penyeru memanggil (lagi) Wahai para Ghafilun (yang lalai) bangunlah! Kemudian mereka bangun dari tempat tidurnya seperti mayit yang di bangkitkan dari kuburnya”.

Wallahu 'alam bisshowab
Surabaya, 5 Oktober 2016

cak S


Tidak ada komentar:

Posting Komentar