Minggu, 26 Februari 2017

OK Google,bukan Guru Ngaji

Awalnya juga bingung kenapa tiba-tiba keluar kalimat ini. Sebenarnya kalimat ini bermula ketika di salah satu group chatku ada yang design kaos lucu soal google dan kyai, nah tertarik dengan tema yang sama maka keluar lah design ala ndingkluk dengan kalimat "ok google, bukan guru ngaji"

Design kaos ini tidak hanya diilhami oleh design kaos yang ada di group chat tadi tetapi juga didasari oleh beberapa fenomena yang terjadi di beberapa tahun belakangan ini. Munculnya ustadz-ustadz baru, berseliwerannya posting soal agama, pemaknaan alQuran dan hadits. Di satu sisi memang bagus sih syiar agama semakin gencar, namun di sisi lain ada kekhawatiran dan pertanyaan dari diriku sendiri tentang materi yang disampaikan ustadz ustadz tadi ataupun postingan yang beredar di dunia maya. Apalagi ketika yang mendengar "ustadz" ceramah tapi hanya menyebut sumbernya dari AlQuran hadits, tidak menyebutkan sanad dari apa yang dia sampaikan. Postingan juga gitu semuanya ngomong AlQuran dan hadits. Akhirnya bingung sendiri aku, darimana mereka belajar kok bisa cepat paham alQuran hadits tanpa belajar di pondok/sekolah/majlis ta'lim. Ngobrol dengan beberapa orang sampailah pada salah satu jawaban "ya kan banyak di internet, kamu cari apa saja tanya mbah google ".
Alchamdulillah...ternyata di internet memang bisa cari dan tanya tentang apa saja termasuk di dalamnya masalah yang berkenaan dengan agama, hmmm apakah ini ya yang menyebabkan semua orang sekarang pinter njawab atau komentar soal masalah keagamaan? Mulailah aku berselancar mencari ilmu di dunia maya, uenakk semuanya ada, namun semakin ke sini semakin hampa kurasakan. Materi yang kutemukan lewat mbah google terasa selalu ada yang kurang, yaitu kehadiran soal guru. Aku ga pernah tau apa yang kubaca itu memang sudah bener? Sampai aku bertanya apakah google ini memang guruku, karena dia bisa menjawab semua pertanyaan. Dek, seketika aku inget bagaimana sikap allahumma firlah bapak, alfatiha. Beliau kalau ditanya tentang sesuatu beliau kalau tau jawabannya akan menjawabnya dan ditambahi dengan kalimat "nanti aku coba lihat kitabnya lagi ya" dan ketika beliau tidak yakin atau tidak tau maka beliau akan menjawab tidak tau dan akan menanyakan kepada guru-guru dan teman2 beliau terlebih dahulu. meskipun jawabannya tidak akan secepat mbah Google, rasa-rasanya lebih pas jawaban yang diutarakan beliau hasil membuka kitab atau bertanya ke Gurunya.
Pengalaman tersebut membawaku teringat pada sebuah kitab karya Syech Zarnuji yang terus dikaji dan dipelajari di pondok pesantren yaitu kitab ta'lim Muta'allim. Kitab ini merupakankitab yang harus dibaca dan diresapi oleh para pencari ilmu, karena banyak rahasia mendapatkan ilmu yang tercantum dalam kitab ini mulai dari bagaimana mengatur niat, bagaimana tatacara mencari ilmu, memilih guru, memilih teman, waktu belajar hingga wara' serta hal-hal yang yang berpengaruh pada hafalan dan juga rizki. Melihat kembali ke kitab ini jadi ada gambaran yang cukup jelas sehingga bisa bisa diambil kesimpulan bahwa Google tidak bisa dijadikan guru ngaji. Kenapa seperti itu? karena ada syarat-syarat yang tidak bisa dipenuhi oleh Google untuk bisa disebut sebagai seorang Guru. salah satunya adalah sanad keilmuan. Seberapa besar sih pentingnya sanad keilmuan ini? 
sanad adalah silsilah atau mata rantai yang menyambungkan kita dengan sebelum kita, jadi sanad adalah hubungan. Kalau secara bahasa sanad adalah sesuatu yang terkait kepada sesuatu yang lain atau sesuatu yang bertumpu pada sesuatu yang lain. Tapi dalam makna ini secra istilah adalah bersambungnya ikatan batin kita, bersambungnya ikatan perkenal kita dengan orang lain, sebagian besar adalah guru0guru kita. Sanad ilmu / sanad guru sama pentingnya dengan sanad hadits. Sanad hadits adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan matan/redaksi hadits dari lisan Rasulullah. Sedangkan sanad ilmu atau sanad guru adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan penjelasan baik AlQuran maupun AsSunnah dari lisan Rasulullah. Demikian juga dengan sanad guru agama, sama pentingnya karena sebagai pertanggung jawaban ilmu yang diajarkan dan orisinalitas ilmu, maka dengan pengertian di atas sepertinya kita tidak bisa menjadikan Google sebagai guru ngaji, karena tidak ada sanad yang menyambung sampai ke Rasulullah. Lalu apakah boleh cari ilmu dari Google? Boleh saja, tetapi tidak bisa ditelan secra mentah-mentah harus dikaji ulang dengan guru ngaji beneran. Barangkali perlu kita ingat kembali Hadits Nabi Muhammad Saw yang diriwiyatkan oleh imam Tirmidzi berikut " Barang siapa berkata mengenai AlQuran tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di neraka." Itulah salah satu bahaya menafsirkan alQuran dengan sembarangan.Nah loh, ini merupakan peringatan keras bagiku yang sering mencoba menafsirkan AlQuran dan Hadits dengan pengetahuanu yang dangkal. Semoga Gusti Allah segera memberikan petunjuknNya.
Mungkin ada baiknya kita simak apa yang pernah disampaikan oleh Habib Mundzir alMusyawa:
"Sanad adalah bagai rantai emas terkuat yang tidak bisa diputus dunia akherat, jika bergerak satu mata rantai maka bergerak seluruh mata rantai hingga ujungnya, yaitu Rasulullah saw. Orang yanng berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja, maka ia akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur, jika ia salah atau tidak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tidak faham, ia hanya terkait dengan pemahaman dirinya, maka sebab itu guru tetap penting. Jadi tidak boleh hanya membaca dari buku, tentunya boleh baca buku apa saja, namun kita harus mempunyai satu guru yang kita bisa tanyai jika kita sedang mendapatkan masalah."
Selain untuk menjawab pertanyaan, fungsi seorang guru adalah sebgai pembimbing kita untuk menemukan jalan yang diridloiNya, bagaiama mungkin kita memilih guru yang belum pernah menemukan jalan tersebut. Banyaknya ustadz yang berseliweran di media social pun mesti kita cermati sanad keilmuannya, karena tidak sedikit dari mereka yang ternyata belum berguru, lantas bagaimana dia akan mempertanggungjawabkan ilmunya, sebagaimana tadi yang disampaikan oleh habib Mundzir.
Maka adalah menjadi penting untuk datang ke majelis-mejelis keilmuan yang membahas kitab-kitab dari ulama terdahulu, kalau ngaji tanpa kitab kok sepertinya juga kurang pas, apalagi jika dia hanya berdasarkan pemahaman dia terhadap qura'an atau hadits, atau lebih parahnya lagi ada loh ustadz yang tidak mengakui bahkan mengajak untuk tidak percaya pada para imam madzhab. Karena menurut mereka yang mesti diikuti adalah Rasulullan bukan imam madzhab itu. Iya bener memang harus ikut Rasulullah, namun bagaimana kita bisa mengikuti kanjeng nabi jika kita tidak tau kehidupannya saben waktu. Kan ada shahih bukhari, shahih Muslim, sunan ibn Majah, sunan Abu Dawud dan kitab-kitab lainnya yang bisa kita akses bebas? iya tapi apa sudah benar pemahaman kita tentang hadits-hadits tersebut? rasanya sangat Naif jika kita mengesampingkan apa-apa yang pernah disampaiakan oleh ulama salafus saleh melalui kitab-kitabnya. Berapa sih hadits yang kita baca? bagaimana penguasaan bahasa kita dan berapa jauh jarak kita ke Kanjeng Nabi? Maka jika ada orang yang tidak mau bermadzhab maka menurutku orang itu sungguh terlalu sok tahu. Lah, imam imam madzhab itu loh cukup dekat dengan kanjeng nabi dibandingkan dengan dia, dan beliau-beliau itu tidak hanya membaca hadits namun hafal ribuan hadits. Jika ada ustadz yang mengatakan tak perlu madzhab maka segera tinggalkan dia.
Tingkat keilmuan tidak hanya ditunjukkan oleh seberapa panjang jenggotnya, seberapa lebar gamisnya atau seberapa hitam keningnya. Seorang guru adalah mereka yang telah melakukan apa yang dia ajarkan, mereka yang akan menjadi penangung kita di akherat kelak, dan yang paling penting adalah mereka yang menemani kita menemukan hidayaNya. 
Semoga kita diberi petunjuk dan hidayah untuk menemukan ilmu yang bermanfaat dengan guru yang tepat.

Waallahu a'lam bishowab..

Surabaya, 17 januari 2017
cakS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar