Minggu, 26 Februari 2017

Pengen Selamat? Jaga Your Mouth

Cerita ini sebenarnya terjadi sudah lama banget, cerita tentang bagaimana kami nge bully seorang teman yang lagi posting foto seorang cewek muda cantik di alun social medianya. Sontak ketika dia upload foto itu langsung banyak yang berkomentar..dan tahu kah kalian bagaimana komentar komentar tadi berakhir? "Your mouth" adalah kalimat terakhir di rangkaian komentar tadi. Kalau kalimat Your mouth itu di lihat di kamus bahasa suroboyoan itu atinya "cangkem mu". Frasa yang sering digunakan kepada seseorang yang omongannya ngawur.
Fenomena ini terutama mengenai begitu gampangnya sebuah ucapan, pendapat meluncur tanpa dipikirkan. Teman teman mungkin masih ingat betul kasus salah satu pejabat daerah yang mendapatkan masalah karena pernyataan dan cara dia berbicara. Tentu kenyataan ini bisa dijadikan bagi kita untuk mengambil pelajaran darinya. Dan pelajaran yang paling adalah belajar bagaimana menjaga lisan. Petuah petuah menjaga lisan sudah banyak kita dengar, misalnya: mulutmu harimaumu, lidah ta bertulang dan yang paling kusuka adalah "salamatul insan fi chafidzil lisan" keselamatan manusia terletak pada menjaga lisan. 
Semua kalimat tentang lisan tadi seringkali kita dengar, pertanyaannya sekarang adalah sudahkah kita mengamalkan menjaga lisan di kehidupan kita sehari hari? Kalau belum, mari sekarang kita bareng bareng mulai menjaga lisan kita, karena bahaya siap menunggu kita jika kita menjaga lisan kita. Ciri ciri lisan kita aman atau tidak adalah dengan mengecek bagaimana kita menggunakannya. Jika lidah kita digunakan untuk berdzikir, membaca alQuran dan menyampaikan kebaikan berati kemungkinan besar lisan kita sehat. Namun, jika lidah kita sering digunakan untuk nggibah, Dusta, fitnah, menghardik dan sebangsanya maka itu adalah tanda bahwa lisan kita sudah bermasalah. Sangat berbahaya jika lisan kita sakit, bayangkan besarnya kerusakan yang bisa ditimbulkan oleh lisan yang sakit, yang paling sering terjadi adalah kita menyakiti hati seseorang dengan ucapan kita contohnya adalah kejadianku tadi. Satu dia jadi benci sama kami, renggangnya pertemanan kami dan yang paling bahaya adalah kami menyebabkan dia marah.
Lisan itu lebih tajam daripada pedang, kalau pedang paling top hanya bisa membelah logam, lisan bisa membelah persaudaraan, sampai bisa membelah persatuan bangsa. Lidah yang lunak itu sebenarnya adalah anugerah dari Gusti Allah, maka seperti anugerah lain, lisan ini mesti kita syukuri, bagaimana cara mensyukuri nikmat lisan ini tidak lain adalah menjaganya dari penyakit-penyakit lisan. Cara menjaga lisan diantaranya adalah:
  • Mengembalikan fungsi lidah
Di atas tadi sudah disinggung bahwa lisan, lidah diberikan selain sebagai salah satu indra, fungsi nya yng lain adalah untuk dzikir kepada Allah, membaca kalamnya dan untuk menyampaikan kebenaran kepada sesama alias amar ma'ruf nahi munkar. Kalau kita mengembalikan fungsi lidah kepada hal-hal di atas maka insyaallah kita termasuk dalam golongan orang yang bersyukur. Namun jika menggunakan lisan kita untuk menghasut, mengadu domba, menyampaiakan berita bohong atau bahkan untuk sekedar "ngerasani" gosip dan menggunjing. maka bisa dikata kita termasuk orang yang dzalim.

  • Menempatkan di belakang hati
imam Hasan Al Bashri:"Sesungguhnya lidah orang mukmin berada dibelakang hatinya, apabila ingin berbicara tentang sesuatu maka dia merenungkan dengan hatinya terlebih dahulu, kemudian lidahnya menunaikannya. Sedangkan lidah orang munafik berada di depan hatinya, apabila menginginkan sesuatu maka dia mengutamakan lidahnya daripada memikirkan dulu dengan hatinya ".
Sekarang mari kita pikirkan sejenak bagaimana kita biasanya menggunkan lisan kita, seberapa sering kita berpikir dulu sebelum berucap? sering kah atau malah tanpa pikir?. Menilik peristiwa dan berita yang terjadi belakangan ini terutama banyaknya berita dan artikel berseliweran di media sosial. Setiap orang atau kelompok berusaha mendoktrin pembacanya dalam menyikapi satu kasus yang sedang terjadi. Dan celakanya adalah perilaku kita yang sering kali juga ikut me-viral-kannya, bahkan ada kelompok yang menjanjikan pahala jika meviralkan artikel mereka. Apakah tidak boleh? boleh saja asal kita tau isi dari yang kita viralkan, mentang-mentang yang nulis berstatus sebagai pemuka, lantas kita langsung saja nge viral tanpa mengecek dulu isi artikelnya.
Tabayun, adalah istilah yang sering digunakan sebagai filter awal dalam menyampaikan berita. Iya, kita mesti melihat konteks dan isi dari artike yang akan kita share, akankah ini akan membawa manfaat atau hanya akan menambah ruwetnya keadaan. Seakan semua orang sudah menjadi ahli dalam satu bisang semua berfatwa, ujung-ujungnya saling menjatuhkan. Memang lidah itu ta bertulang, apalagi di medsos. Setidaknya periksa dulu siapa yang menulis artikel itu, bagaimana sanad keilmuannya, bagaimana sumber rujukan yang dia gunakan, dan tadi, apakah ini membawamanfaat jika di viralkan. Ini berlaku untuk cara kita bertututr kata, coba pikir dulu rasakan dulu materi yang akan kita ucapkan, bermanfaat apa ga? menyelesaikan masalah atau malah bikin tambah parah? menyejukkan apa menjatuhkan? setidaknya itulah yang mesti ada diawal kita mau berucap atau berpendapat. Jika mudhorotnya lebih besar maka sebaiknya kita Diam.

  • Diam
Setiap kali pembicaraan mengenai lisan/lidah, maka tidak bisa dilepaskan dari cara yang paling ampuh dan sulit ini, yaitu diam. Tuntunan diam ini adalah solusi jitu yang disampaikan oleh baginda Nabi untuk membuat lidah ini tetep terjaga. diantara tuntunan beliau ada pada hadits berikut "Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhirat maka berkatalah yang baik, atau (jika tidak), diamlah ". (HR. Bukhori dan Muslim) seirng kan denger yang ginian? gampang? rasanya lidah ini sangat ringan untuk mengomentari sesuatu. Beda banget dengan para salaf dulu, mereka sangat menjaga lisan mereka dari sesuatu yang tidak perlu, mereka begitu berhati hati dalam menggunakan lisan mereka karena takut dosa yang akan ditimbulkan karena lisan mereka. Kecuali jika perkara yang berkaitan dengan penegakkan hukum mereka pasti akan berbicara, soal penghinaan agama mereka akan bicara. Tapi ya gitu, cara mereka menyampaikan pendapat sepertinya sangat berbeda denganku. Mereka menyampaikan pendapat dengan lemah lembut tapi tegas, tanpa teriak-teriak tanpa memaki atau menghujat lawan bicaranya, lah kalau aku, bicara dengan teriak-teriak tanpa kaidah keilmuan yang jelas dan semangatnya adalah menunjukkan kebenaran adalah milikku bukan milik lawan bicaraku. Disini jelas dibutuhkan juga sifat ndingkluk dalam berpendapat atau menyampaikan kebaikan, ini yang jarang kulakukan, seringnya adalah pengadilan aku benar kamu salah.
Para ulama salaf itu seperti menelanjangiku, mereka dengan kadar keilmuan yang sangat tinggi dan luas, masih bisa menempatkan lisannya dibelakang hati nuraninya. Sedangkan aku, dengan segala keterbatasan ilmu sudah berani merasa yang benar, sudah berani menghakimi yang lain salah dn itu semua disampaikan dengan cara yang kurang elegan. Rasa-rasanya sudah cukuo jelas bagaimana posisi keimanan dan keilmuanku yang masih jauh dari kata baik.

Biar ga semakin aneh kalimat yang keluar maka demikianlah ceritaku tentang pengalaman menggunakan lisan. dan ijinkan meshare satu jurus mengalahkan setan dari kanjeng Nabi "Simpanlah lidahmu kecuali untuk kebaikan, karena dengan demikian kamu dapat mengalahkan syaitan " (HR. Ath Thabarani dan Ibnu Hibban).
Semoga kita semua diberi pertolongan oleh Gusti Allah dalam menjaga lisan. wallahu a'lam bishowab.

surabaya, 27 Desember 2016
cak S

Tidak ada komentar:

Posting Komentar