Minggu, 26 Februari 2017

No tears doesn't mean no pain...menjadi manusia kuat

Sejujurnya aku tidak tau makna dari kalimat "no tears doesn't mean no pain" yang menjadi salah satu design di kaos ndingkluk. Awalnya ada request dari dulur ketemu gedhe yang tiba tiba menyodorkan kalimat tersebut menjadi salah satu bahan design kaos ndingkluk. Sampai detik ini aku ga berani tanya apa yang melatar belakangi kalimat tersebut, ada cerita apa, ada kejadian apa, biarlah itu menjadi rahasia dia.

Sedikit menebak makna yang terkandung dalam kalimat tersebut sampailah ingatanku pada artikel di www.ceritanecaks.id yang pernah kutuliskan dengan judul the old man and the sea. Cerita yang kuperoleh hasil membaca karya sastra Ernest Hemingway dengan judul yang sama. Cerita tentang besarnya tekad dan kegigihan seorang lelaki tua menggapai impiannya. Dan bagian yang paling menarik dari sastra tadi adalah kalimat "rasa sakit bukanlah masalah bagi seorang lelaki". Dia seorang lelaki tua harus berdarah darah melewati kejamnya lautan demi ikan besar yang diidamkan. Terus apakah cerita di balik "no tears doesn't mean no pain " sama dengan cerita the old man on the sea tadi? Marilah kita tampilnya... wait, wait.. eh jika kalian mengharapkan curhatan dia, lupakan. Karena dia akan lebih bercerita lebih banyak mengenai makna disetiap langkahnya menjadi lebih kuat...monggo dek...

Loh ini bukan cerita panjang loh ya ini hanya curhatan seorang teman, gini curhat nya 

"Jadi ono uwong, lanang, kereng banget nek karo bojone.. sukanya marah, menggunakan suara keras dan kata2 kasar.. pdhl lo nek kr wong liya apikan dan lebih sabar.. istrinya sih bukan yg mello nangisan kaya aku, tapi kan tetep ya lara ati.. padahal di depan org lain istri tetep harus menjaga kehormatan suaminya ituh.. kasian kan.. berat tu.." 
rooming ya? Maaf.

Baiklah biar saya yang melanjutkan, suwun dek cerita singkatnya. Jadi ada seorang pria yang sukanya marah-marah ke istrinya, kalau ngomong ke istrinya dengan nada tinggi dan pilihan kata yg menyakitkan. beda dengan cara dia ngomong ke orang lain. Ini kan kasihan si istri, bayangkan bagaimana sakit rasanya si istri, ditengah tuntutan dia harus menjaga martabat suaminya di depan orang lain.

Kalian boleh setuju atau tidak dengan sikap si istri tadi. Dia menahan sakitnya, dia tampilkan wajahnya yang baik2 saja yang menandakan keharmonisan keluarganya. Tapi menurutku kita ga boleh sepakat dengan sikap si suami. Menurutku dan dulurku tadi, sikap suaminya tadi keterlaluan. Entah menurut kalian.

Begini, kalian pernah baca atau dengar soal 7 habits yang tahun 2000an sangat terkenal sehingga dijadikan materi pelatihan di hampir semua kalangan, baik mahasiswa maupun profesional. Di sini ga akan ku singgung ketujuh habitnya, hanya satu yang kusinggung yaitu habit "mulailah dari akhir". Entah ini sesuai dengan yang dimaksud 7 habit atau enggak, yang jelas kalau aku ditanya soal apa maksud dari "mulai dari akhir" maka jawabanku adalah mulailah dari bagaimana kamu ingin dikenang saat kematianmu. 

Pernah ikut takziah orang meninggal kan? Kalau belum pernah mari kuceritakan sedikit. Setelah/sebelum disholati ada juga yang sebelum dikebumikan, biasa nya Ada perwakilan keluarga atau pengurus agama yang meminta kesaksian bahwa si mayit ini adalah orang baik. Nah, pertanyaannya adalah jawaban apa yang pengen kita dengar dari jamaah tadi ketika kita lah yang menjadi si mayit. Insyaallah kita pengen mereka jadi saksi bahwa kita orang baik.

Tugas kita sekarang adalah melihat lagi ke dalam diri sendiri, sudah layakkah kita disebut sebagai orang yang baik. Sebagai suami sudah kah kita menjaga keluarga kita, mengarahkan dan membawa keluarga ke jalan yang benar? Jangan jangan yang kita lakukan adalah seolah olah menjadi penguasa atas keluarga, semena mena ke istri (seperti curhatan di atas), menelantarkan anak kita, jangan-jangan yang kita lakukan hanya mengupah anak kita tapi tidak mendidik mereka. Sebagai seorang istri, sudah kah kita menjadi istri soleha, istri soleha itu gampang kok patokannya, patuh ke suami (dalam hal kebaikan tentunya) jaga martabat keluarga, karena tanggung jawab istri itu di suami. Seberapa kaya kalian wahai perempuan atau seberapa rajin kalian beribadah, ta kan berguna jika di hati kalian masih ada rasa "berani" kepada suami kalian. Sebagai anak, sudah seberapa berbaktinya kita kepada kedua orang tua kita. Seberapa tunduk takdzim kepada mereka, dan seberapa sayang kepada mereka. Yang terkadang malah menilai orang tua selalu metepotkan dan lebih parahnya lagi tidak pernah atau jarang mendoakan mereka. Terus kalau ditarik lebih luas, bagaimana saat ini sikap kita ke tetangga, ke teman, ke lingkungan sekitar kita. Sudah pas kah sikap kita sehingga kita layak mendapatkan kesaksian mereka nanti.

Bagaimana sikap kita sebagai anak buah, sebagai bos, pejabat, ulama, pengusaha, petani, pekerja, guru, murid dan apapun posisi kita saat ini. Mari dinilai sendiri sejauh mana usaha kita menjadi manusia yang baik, baik yang dimaksud bukan baik pencitraan. Melainkan kebaikan yang tulus, kebaikan yang menjadi fitrah saat kita diciptakan. 

Banyak sekali jalan menjadi manusia baik, monggo dipilih. Kalau menurutku yang simple saja dulu. Kalau kita belum bisa berbuat baik ya minimal jangan menyakiti orang lain seperti curhatan singkat tadi. Kalian tau kenapa? Kalau kata adikku tadi "Sebab menyakiti perasaan org lain itu ya gak murah membayarnya". Solusinya sederhana menurut dia, setidaknya be mindful lah ketika bergaul dengan sesama, jaga perasaan. Kalau kita sakit waktu dibohongi ya jangan berbohong, sakit ketika dimarahin tanpa sebab yo Ojo marah, sakit ketika dihianati ya jangan berhianat. Kita pasti tau dan sadar setiap ucapan, tindakan bahkan kedipan mata bisa berpengaruh ke perasaan orang lain. Kalau sudah gini, yuk mari kita kembali menata omongan, sikap dan bahkan keputusan kita biar tidak menyakiti orang lain. Apa bisa? Akan susah untuk menjaga perasaan orang lain. Tapi minimal kita sudah mengeluarkan best effort kita. Jangan lihat susahnya tapi lihat lah dampak nya. Karena bisa jadi orang yang kita sakiti tadi tidak meneteskan air mata, namun sakitnya masih akan terasa. 

Diakhir cerita ini ijinkan kami mengutip wejangan dari Soedjatmoko, seorang begawan intelektual "masa depan kemanusiaan, tergantung pada moralitas keputusan kita sekarang" silahkan kita putuskan apakah akan menjunjung tinggi kemanusiaan atau merendahkannya dengan sikap kita.

Semoga Gusti Allah selalu memberikan, menunjukkan dan memberi kekuatan untuk terus menjadi manusia yang lebih baik.


Wallahu a'lam bishowab 

Hasil chatting with dulur ketemu gedhe

24 January 2017
Argo Willis jurusan solo-Surabaya 

Cak S

Tidak ada komentar:

Posting Komentar