Rabu, 27 Juli 2016

Tidak patutkah aku..

"Tidak patutkah aku menjadi hamba yang bersyukur?"

"Tidak patutkah aku menjadi hamba yang bersyukur?"
Kalau saja yang menyatakan pertanyaan di atas adalah seorang CakS mungkin akan biasa saja. Tapi ada cerita dibalik pertanyaan itu. Dan beginilah ceritanya...
Cerita ini pernah didengarkan juga ketika ikut sholat jumat di kantor. Suatu hari ummul mukminin sayidatina Aisyah sebelum tidur mendapati kanjeng Nabi Muhammad sholat sunnah, ketika sayidatina Aisyah terbangun beliau ngedapati Kanjeng Nabi masih sholat, dan ketika beliau bangun dari tidur beliau mendapati Kanjeng Nabi masih juga menjalankan sholat sunnah. Beliau heran kenapa seorang yang sudah dijamin surga masih saja melakukan ibadah segiat itu. Rasa ingin tau ini yang mendorong sayidatina Aisyah bertanya kepada Rasulullah.

Pertanyaan yang juga pernah terekam disebuah hadits yang diriwayatkan oleh Diriwayatkan oleh Qutaibah bin Sa’id, juga oleh Basyar bin Mu’adz, dari Abu `Awanah,dari Ziyad bin `Alaqah, yang bersumber dari al Mughirah bin Syu’bah r.a  Rasulullah berdiri (shalat) sampai bengkak kedua kakinya. Kepadanya ditanyakan: “Mengapa Anda membebani diri dengan hal yang demikian?Bukankah Allah swt. Telah mengampuni Anda dari segala dosa Anda, baik yang terdahulu maupun yang akan datang?” Rasulullah saw. Bersabda : “Tidak patutkah saya menjadi hamba Allah yang bersyukur?”(mutafaqun ‘alaih) dan bisa dilihat juga di kitab syarah ratibul haddad dalam bab sholat malam.

Yang menarik adalah begitu tawadlu’nya Rasulullah, seorang yang sudah dijamin kebahagiaan dunia akheratnya, manusia unggulan, manusia tersabar dan terbaik masih saja berharap diakui oleh sebagai hamba yang bersyukur oleh Rabnya. Iya, kalau seorang Rasulallah, nabi Allah berharap untuk menjadi hamba yang bersyukur maka wajiblah bagi kita manusia hina ini untuk mengharapkan dan berjuan untuk menjadi hamba yang bersyukur. Tentang syukur ini sudah pernah disinggung di artikel sebelumnya “antara miracle fruit dan syukur”.

Di hadits di atas Kanjeng Nabi sudah memberikan bocoran jurus yang bisa kita gunakan untuk menjadi hamba yang bersyukur yaitu senantiasa berusaha beribadah dengan sungguh-sungguh. Apa sih parameter kesungguhan kita beribadah? Menyimak hadits di atas, Kanjeng Nabi itu sholat sampai bengkak kedua kakinya yang bisa jadi mengindikasikan berapa banyak sholat yang beliau lakukan, berapa banyak waktu yang beliau habiskan untuk memujaNya.

Itu kan Rasul, begitu kira-kira argument dari otakku yang sering hang ini. Memang kita bisa nyontoh Ibadahnya Nabi? Sisi jiwaku yang lain menyatakan, loh harus itu, kalau target kehidupan duniawi saja diset di level yang tinggi, kenapa untuk ibadah tidak kita set yang tinggi juga. Dan, level ibadah yang tinggi adalah apa yang sudah dicontohkan dan diamalkan Kanjeng Nabi, bukankah Kanjeng Nabi sendiri pernah bilang misal dalam urusan sholat,  “Sholatlah seperti kamu melihat aku sholat” , Menurutku rugi jika hadits ini hanya diartikan dalam hal gerakan sholat. Tapi lihatlah hadits ini secara keseluruhan, misal mulai dari bagaimana cara Nabi mempersiapkan sholatnya, thoharoh, sampai seberapa sering Nabi sholat. Berapa rakaat beliau lakukan setiap harinya, siang dan malamnya.

Haruskah kita menghabiskan waktu kita untuk beribadah kepada Allah? Loh, bukankah kita diciptakan untuk beribadah? Bagaimana pekerjaan kita, bagaimana keluarga kita dll? Ngene cak, kata jiwaku yang lain. Jadi ibadah itu banyak ragamnya ada ibadah maghdo dan ghoirul maghdo. Jadi jika semua kegiatan sehari-hari kita diniati badah ya insyaallah bernilai ibadah. Bukan berarti juga ketika kita memperbanyak ibadah maghdo akan mengorbankan kehidupan kita, tinggal pandai-pandainya kita saja mengatur ritme dan waktunya

Begini, kenapa kita perlu beribadah sebanyak-banyaknya?jawabnya adalah soal keyakinan, emang yakin semua ibadah yang kita lakukan itu diterima? Ayo tengok lagi ibadah kita, sudah bener ga wudhu kita, sudah pas ga niat kita, sudah cukup tuma’ninah kah kita? Dan, sudah ikhlaskah kita beribadah kepada Allah? Selama ini kita sibuk mengejar sesuatu yang sudah dijanjikan Allah akan dipenuhi, salah satu yang kita takutkan adalah soal rizki kan? Bukankah Allah seperti termaktub dalam AlQuran telah mengatakan “Setiap yang hidup di bumi telat ditetapkan Allah rizkinya”. Terus sudahkah kita menjaminkan hidup kita ini untuk beribadah kepada Allah?Wallahu a'lam bishowab

Surabaya, 27 Juli 2016
diselingi bau sate...dilantai 16 yang bersahaja

cakS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar