Selasa, 19 Juli 2016

Lelaki Penjual Es Lilin


Ada sesuatu yang begitu menampar hatiku saat kemarin singgah di masjid di daerah banjarsari gresik. Saat itu memasuki waktu sholat ashar. Tidak ada yang aneh sebenarnya di lingkungan masjid tersebut. Entah apa yang membuatku melihat ke halaman masjid tersebut dan nampaklah sebuah sepeda kayuh yang di atasnya terdapat kotak sterofom, ya, penjual es lilin keliling yang dulu sering kita temui di sekolah sekolah dasar alias sd.

Penjualnya seorang lelaki berpawakan sedang dengan rentang usia 50 tahunan. Memakai kaos oblong dengan celana panjang ala kadarnya. Sempat berpapasan dengan beliau di tempat wudlu di hati sempet terbesit pikiran tentang si bapak ini. Kekagumanku kepada bapak dengan sebelah matanya yang terganggu ini bertambah ketika dia mempersiapkan diri untuk sholat ashar, tas plastik yang dia bawa dari sepedanya ternyata berisi baju, sarung dan kopiah. Setelah adzan selesai kok belum muncul si bapak itu, eh ternyata sepertinya dia mandi terlebih dahulu sebelum melaksanakan sholat ashar terlihat dari wajah dan gerak tubuhnya yg lebih segar. Begitu khusuk beliau berdoa setelah sholat. Ketika para jamaah sudah meninggalkan masjid kuperhatikan si bapak belum juga keluar masjid, dan ketika keluar masjid sudah ganti ke pakaian dinasnya.
Sekilas mungkin terasa hal ini biasa. Namun ketika kuresapi lebih dalam.
  • Seorang penjual es lilin keliling, sudi dan bisa mengarahkan sepeda berkaratnya ke masjid untuk sholat berjamaah tepat waktu. Lah aku, dengan fasilitas transportasi yang lebih baik, berapa banyak masjid yang terlewati tanpa mampir untuk sholat berjamaah tepat waktu?
  • Gaji bulananku mungkin lebih gedhe daripada hasil jualan es lilin keliling. Tapi sebagaian dari pakaian yang kupakai adalah untuk memantaskan bertemu dengan manusia. Beda dengan bapak itu, dia lebih memantaskan diri bersujud kepadaNya dengan memilih pakaian yang jauh lebih bagus daripada ketika  berinteraksi dengan manusia. 
  • Berapa sih waktu yang bapak itu butuhkan untuk mendapatkan uang ratusan ribu?atau jutaan? Pastilah kalau dibuatkan persamaan rumus matematika, waktu yang beliau butuhkan akan lebih lama daripada yang kubutuhkan. Namun kenapa dengan waktu yang lebih longgar aku tidak bisa berjamaah tepat waktu?padahal nikmat Allah tidak bisa terkira besarnya, apalagi jika dibandingkan dengan bayaran yang diberikan perusahaan kepadaku. Dan bukankah gajian tiap bulan itu juga bagian rejeki dariNya?
  • Dan satu lagi, pancaran semangat dari wajah beliau sangat tinggi, baik ketika akan sholat, setelah sholat dan ketika akan mengayuh kembali sepedanya. Apakah ini gambaran dari rasa syukur dan keikhlasannya yang begitu besar dalam mengemban misinya sebagai hamba hal ini berkaitan dengan ibadah kepadaNya, ataupun fungsinya sebagai kepala rumah tangga yang mesti menafkahi keluarganya?Semangat ini lah yang mesti kucontoh. Keseimbangan dalam hal melaksanakan kewajiban kepada Allah maupun hal hal yang berkaitan dengan kehidupan duniawi. 
Sekilas kejadian tadi memberikan pertanyaan penting tentang integritas kehambaanku kepadaNya. Ditelisik dari waktu, harta, kesehatan serta nikmat nikmat yang lain, tidak salah ketika pertanyaan tadi kulontarkan kepada diriku sendiri. Bagaimana semua nikmat itu kumanfaatkan, apakah untuk menjauhiNya atau sebagai kendaraan untuk mendekatinya.

Maturnuwun ya Allah atas segala karuniaMu. Dan semoga rahmatMu selalu tercurah kepada si bapak penjual es lilin keliling tadi. Ridloi dan bimbinglah kami untuk selalu bersyukur dan menjadi orang yang ikhlas.

Wallahu a'lam bis showab 
Cerme, 17 Jul 2016

CakS 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar